Translate

Selasa, 16 Juli 2013

Yesus Seumur Aluk dan Tongkonan.

Yans Sulo Paganna'Bermenung dari Tongkonan Toraja
(Remah-remah Pertapaan)
Oleh Pastor Yans Sulo Paganna'
Rasa penasaran dengan homilyku kemarin yang tidak terekam membuat seorang umat memintaku untuk menuliskannya dan memintaku untuk mengirim juga ke FB untuk dibaca oleh orang Katolik yang lahir dan atau mengerti tentang Toraja. Awalnya aku hanya senyum-senyum saja untuk permintaan seorang umat Katolik yang menjadi pendengar homilyku pada hari Minggu biasa XV/C, kemarin. Tetapi kemudian aku berpikir bahwa mungkin juga tidak ada salahnya kalau aku duduk manis dengan BB sambil memenuh permintaannya, apalagi dengan cuaca di daerah Bokin yang hampir hujan sepanjang hari makin menggodaku untuk berteman dengan BB daripada capai menunggu datangnya cuaca yang baik untuk aktivitas di luar rumah. Hitung-hitung juga sekalian belajar mengarsipkan homilyku, hahahaha.

Baik, aku berharap bahwa ringkasan homilyku ini makin membantu anda, khususnya yang "penasaran" untuk memahami iman kekatolikan anda dalam hubungannya dengan kehidupan di kampung halaman Toraja. Kucoba mengingat-ingat kembali apa yang aku katakan dalam homily di stasi kemarin. Dan, oh iya ternyata aku sanggup mengingatnya kembali. Kemarin di depan umat stasi pedalaman, aku mengutip "hukum emas" Yesus, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".

Aneh bahwa seorang ahli taurat tidak tahu tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup kekal. Sungguh-sungguh aneh bin ajaib bahwa seorang yang mengajarkan atau ahli di bidang itu kokh tidak tahu dan kemudian bertanya lagi. Tapi ingat bahwa si ahli taurat itu "hanya" mencobai Yesus saja. Namanya daja mencobai, pasti dia sendiri tahu. Makanya ketika Yesus bertanya balik, yang menjelaskan isi taurat bukan Yesus tetapi ahli taurat itu sendiri, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Yesus tinggal berkata, "Jawabmu itu benar, Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup". 

Nah rupanya untuk memperoleh hidup kekal, cukup dengan melaksanakan hukum emas Yesus di atas. Hanya persoalannya adalah bahwa untuk melaksanakannya pastilah tidak mudah. Tidak jarang hukum emas tersebuk kita bongkar-balik semau gue saja. Maksudku adalah bahwa tidak jarang apa yang harusnya nomor dua kita nomor satukan atau apa yang harusnya paling utama kita nomor sekiankan. Tidak jarang kita lebih memilih pergi pesta nikah atau pesta rambu solo' pada hari Minggu, seperti yang aku lihat di jalan sebelum ke tempat ini, beberapa orang Katolik sudah duluan di pesta nikah gereja tetangga yang diberkati hari ini daripada pergi ke gereja. Inilah yang kumaksudkan bahwa apa yang seharusnya dinomorduakan (mengasihi sesama) kemudian dinomorsatukan (mengasihi Allah). Padahal bunyi hukum emas Yesus tidak seperti ini, "Kasihilah sesamamu manusia dengan segenap ... dan kasihilah Tuhan Allahmu, ..." Hati-hati, warning besar, jangan dibolak-balik, Yesus tidak mengatakan seperti itu.

Coba perhatikan salib Yesus yang tergantung di atas sana !!! Palang vertikalnya lebih panjang daripada palang horisontalnya. Padahal kalau tidak punya maksud ya bisa saja dikasih sama panjang, kenapa tidak? Tetapi semuanya merupakan simbol. Sekali lagi palang vertikalnya lebih panjang daripada horisontalnya. Palang vertikal, menunjuk pada hubungan manusia dengan Allah, atau hubungan Allah dengan manusia; sementara palang horisontal menunjuk hubungan manusia dengan sesamanya. Kita tidak perlu bertanya "bodoh" atau seolah-olah bodoh seperti ahli taurat dalam Injil hari ini, "Dan siapakah sesamaku manusia?"

Kayu salib dengan palang vertikal (tegak lurus ke atas) lebih panjang daripada yang horisontal sudah jelas menunjukkan bahwa memang yang lebih utama adalah hubungan kita dengan Allah, mengasihi Allah. Dan palang horisontal lebih pendek daripada yang vertikal menujuk bahwa urusan dengan sesama harus lebih kemudian daripada dengan Tuhan atau Allah kita. Nah sekarang bertanyalah pada diri anda sendiri, apakah "Salib Anda" masih seperti salib Yesus yang bagian vertikalnya lebih panjang daripada bagian horisontalnya, atau malah sudah terbalik; bagian horisontal lebih panjang daripada palang vertikal, atau jangan jangan bagian horisontal panjang sekali dan palang vertikal pendek sekali??? Anda sendiri yang bisa menjawabnya.

Nah mungkin untuk jelasnya aku mau mengajak anda untuk memahaminya dalam alam pikir Toraja. Aku mau tanya, dalam rumah Tongkonan Toraja, ramuan kayu mana yang mirip atau sama dengan bentuk salib? Jawaban anda pasti: "Petuo", "rando-rando", dan "tulak somba". Aku akan berkata, "Jawaban anda itu benar, maka mari kita renungkan lebih jauh lagi". 

Baik, pertama: "Petuo", jenis ramuan bangunan tongkonan Toraja yang letaknya persis di tengah-tengah rumah tongkonan yang menghubungkan bagian badan rumah dengan bagian atap rumah Toraja. "Petuo" dari kata "tuo", yang artinya hidup, jadi "petuo" tidak lain artinya yang memberi hidup. Anda jangan kaget bahwa ternyata "petuo" yang artinya "yang memberi hidup" itu ternyata persis sama dengan salib Yesus yang tidak lain adalah "Pemberi hidup abadi". Anda jangan pula terkejut kalau kemudian aku katakan bahwa ramuan itulah yang ketika rumah tongkonan dipestakan atau "dirara", yang oleh pelaksana ritus diolesi dengan darah hewan persembahan sambil menghadap ke timur sebanyak tiga kali olesan. Dan konon dulu, di situlah biasa diikatkan tanduk kerbau yang menjadi kerbau persembahan.

Ramuan kayu yang lain yang mirip dengan salib adalah "tulak somba", dimana tanduk-tanduk kerbau dipasang, yang sesungguhnya bukan sekedar hiasan belaka tetapi lagi-lagi merupakan simbol yang selama ini tidak pernah tersingkap dan sekarang akan aku katakan kepada anda.

Anda tahu bahwa untuk orang Toraja, ada tiga jenis korban darah persembahan (rara manuk, rara bai, dan rara tedong). Kerbau merupakan korban persembahan tertinggi, karenanya dipajanglah di situ (tulak somba) yang mirip dengan salib. Dan anda bandingkan dengan persembahan Allah, Yesus PuteraNyalah persembahan tertinggi untuk manusia, maka dialah yang terpasang di salib. Salib dan petuo dan atau tulak somba hampir sama fungsinya. Untuk petuo dan tulak somba, palang vertikal menunjuk pada urusan aluk, sementara palang horisontal menunjuk pada urusan adak. Itulah sebabnya biasa dikatakan, aluk dengan adak adalah "simuane tallang". Bagian vertikal dari bawa ke atas menunjuk pada perkara aluk (semua urusan manusia yang berhubungan dengan Puang Matua), dan bagian palang horisontal menunjuk ada', yakni semua urusan manusia yang berhubungan dengan sesama dan tradisi. Jagi pada "salib Toraja" yang dipajang adalah kepala kerbau sebagai persembahann tertinggi, sementara pada salib Gereja yang terpajang adalah Yesus Anak Allah yang adalah persembahan tertinggi Allah sendiri untuk dunia. Sama khan? Lihatlah bahwa tulak somba juga bagian vertikalnya lebih panjang daripada palang horisontalnya, persis sama dengan salib yang mau mengatakan supaya hubungan dengan Yang Ilahi harus lebih utama daripada dengan sesama dan tradisi.

So, hukum emas Yesus bukan hal yang baru sama sekali untuk orang Toraja. Yesus hanya mengingatkan kita untuk kembali mengingat dan tidak melupakan bahwa urusan dengan Allah harus lebih utama daripada dengan sesama. Dan itulah sebabnya mengapa nenek moyang orang Toraja menempatkan "salib" di depan-belakang-dan dalam rumah Tongkonan, supaya hukum emas ini selalu dijunjung tinggi.***

Renungan Pribadi:
Entah apa yang membangunkanku dari kesadaran bahwa Yesus sesungguhnya mendahului Injil masuk Toraja. Lihatlah betapa tak terpahami bahwa "Petuo" yang berarti "Pemberi Hidup" modelnya salib dan ditempatkan di dalam badan rumah menghubungkan bagian atap rumah dengan bagian badan rumah, di mana rumah tongkonan terbagi tiga bagian; bagian atap disebut wilayah langit (baca: surga), badan bumi adalah wilayah bumi, di mana bagian atap dengan bagian badan rumah (wilayah langit dengan wilayah bumi) dihubungkan dengan "Petuo" surga-bumi dihubungkan oleh "Pemberi hidup". Dan bagian bumi (badan rumah) dengan bagian tanah dihubungkan oleh "Ari'ri Posi'" (Anak Dara Sangla') sebagai simbol perempuan (anak dara) sebagai pembawa rahmat bagi semua yang ada di tongkonan. Dan bukankah Bunda Maria tidak lain adalah Pembawa Rahmat, yakni Sang Putra, Sang Pemberi hidup (The Real "Petuo)???***

Kawasan Wajib Bahagia
Yans Sulo Paganna', Pr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar