Translate

Rabu, 20 Februari 2013

Busana Yang Pantas Untuk Pergi Ke Gereja

oleh: P. A.G. Tri Budi Utomo *

Meskipun jaman sudah modern, namun diskusi tentang kesopanan (etiket) dalam penampilan ketika beribadah tetaplah hangat dibicarakan. Kesopanan atau etika dalam penampilan adalah cerminan penghargaan diri terhadap martabat diri dan siapa yang dihadapi. Kalau di Google kita ketikkan frasa 'sopan di gereja' maka dalam jangka waktu setengah detik muncul 1.010.000 (satu juta sepuluh ribu) tulisan yang membahasnya. Kalau kita spesifikkan lagi menjadi: 'pakaian sopan di gereja' maka muncul 624.000 tulisan. Luar biasa. Kesopanan tetap menjadi tema yang mengusik nurani dan sikap beribadah ribuan orang.

Nampaknya ada gejala yang cukup signifikan bahwa masyarakat kita sedang mengidap wabah yang bernama "INYORANSIA" (ignorantia), artinya: ketidakmampuan membedakan dalam menempatkan diri pada suatu keadaan / ruang. Misalnya, tidak tahu membedakan antara: ruang publik dan ruang privat, urusan bisnis dan pelayanan, urusan beribadah dan rekreasi, ekaristi dan hiburan, terhadap orang tua dan terhadap teman, terhadap Tuhan dan terhadap manusia, dan sebagainya. Terhadap gejala tersebut ada orang yang berpendapat bahwa itu merupakan tanda (sinyal) memudarnya peran orangtua sebagai pembentuk kepribadian anak, ada yang berpendapat bahwa institusi pendidikan yang semakin pragmatis dan materialistis, ada juga yang berpendapat bahwa budaya sensualisme telah meresapi semua aspek kehidupan, atau telah terjadi merosotnya penanaman nilai dalam institusi keagamaan.

Sungguh menarik, bahwa di pertemuan Dewan Pastoral Paroki dan BGKP St Yakobus akhir bulan Mei 2012 yang lalu, hangat di bicarakan tentang etika berpakaian serta penggunaan HP di dalam Gereja. Maka disepakati dan diputuskan untuk: selama bulan Juni di setiap Misa diumumkan ajakan untuk berpakaian sopan, tidak menggunakan HP dan tidak makan selama mengikuti Ekaristi. Tentu keprihatinan itu juga terjadi di paroki-paroki lain.

Katekismus Gereja Katolik (nomor 1387) menasihatkan Supaya kita mempersiapkan diri secara wajar / layak (properly) untuk menerima Sakramen Ekaristi. Umat beriman perlu memperhatikan pantang serta sikap (gerak-gerik, pakaian) selama beribadah sehingga terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus bersatu dengan kita. Kristus menjadi tamu agung sekaligus tuan (bahkan Tuhan) kita.

Gereja adalah bait kudus. Dari kata Ibrani 'Qadosh', artinya dikhususkan, bukan hal yang generik disama-ratakan dengan tempat lain pada umumnya. Ruang kudus berarti ruang itu memang disepakati dan difungsikan sebagai KHUSUS bagi Tuhan, sehingga segala peralatan dan perilaku dan penampilan juga disiapkan secara khusus. Dipilih menjadi istimewa memang karena khusus untuk Tuhan, dengan kata lain 'hak milik Tuhan'. Maka hari Sabat dan hari-hari raya keagamaan disebut sebagai hari kudus karena pada hari tertentu itu seluruh waktu di-KHUSUS-kan bagi Tuhan. Maka tidak mengherankan di tempat-tempat suci / keramat (di Yerusalem, di Bali, bahkan juga ada kesaksian di beberapa gereja Katolik di China) yang menyediakan peminjaman kain penutup / scarf bagi pengunjung yang memakai celana pendek, rok mini atau tank-top. Ini adalah masalah kelayakan dan sikap penghormatan terhadap martabat tertentu.

Seorang perancang busana terkemuka, Anne Avantie, sering kali memberi ceramah di berbagai gereja karena dia prihatin tentang cara berbusana yang kurang tepat dari para jemaat. Menurutnya sudah saatnya Gereja memberikan perhatian khusus untuk membenahi umat dalam etika berbusana ketika memasuki rumah Tuhan. Pada tanggal 24 September 1956, Vikjen Vatican era Paus Pius XII mengeluarkan edaran yang mengatur tentang detail syarat pakaian yang dianggap layak untuk beribadah di gereja yakni baju berkerah terbuka tidak lebih dari dua jari dari pangkal leher menutup pundak (bahu) dan lengan dengan bawahan menutup lutut.

Adalah sungguh sangat baik kebiasaan di keluarga untuk mempersiapkan anak-anak sebelum berangkat pergi ke Misa dengan sikap lahir dan batin secara benar. Sejak anak-anak dijelaskan bahwa ke gereja adalah berkunjung ke rumah Tuhan, kalau ke pesta saja kita memilih baju yang pantas untuk pesta, maka ke gereja pun juga memilih baju yang pantas untuk menghadap Tuhan. Demikian pula bagaimana sikap kita ketika memasuki gereja dan ketika peribadatan berlangsung. Pengajaran semacam itu membangun kepribadian dan iman anak. Penampilan kita merupakan cermin bagaimana kita menempatkan Tuhan Yesus dalam diri kita.

Sikap hormat dan etika berpakaian tersebut tentu bukan hanya berlaku pada saat Misa Minggu tetapi juga pada saat Misa Harian, Perayaan Sakramen lain (misalnya pemberkatan pernikahan dan pengakuan dosa), saat doa / misa lingkungan, pendalaman iman dan ibadat devosional (gua Maria, adorasi, meditasi). Sangat bagus bahwa di kapel adorasi pastoran Yakobus disediakan kain / scarf penutup bagi yang memerlukan atau merasa bahwa pakaian yang dipakainya bisa mengganggu atau membiaskan sikap doa orang lain.

Dalam perdebatan tentang etika berpakaian seringkali berkembang pada sensitif gender (menyalahkan kaum wanita), yang salah sebenarnya mata yang melihat, yang penting adalah sikap batin, mengapa agama kok ngurusin masalah pakaian, terlalu kolot tidak mengikuti perkembangan jaman, dsb. Menekankan sisi batin (mengatakan: yang penting aku tidak bermaksud jahat!) dan menunjuk bahwa pihak lain yang salah, merupakan sikap yang tidak tepat dalam ajaran moral. Baik kalau kita menyimak bahwa tata lahir sama pentingnya dengan tata batin. Dalam ajaran Gereja dijelaskan bahwa sikap manusia ada tiga jenis: sikap kasih (charity), sikap salah (jahat, dosa atau sin / evil) dan sikap lalai (sin by omission) .

Yang termasuk sikap kasih adalah:
a. mengatakan / melakukan kebenaran demi keselamatan, sukacita dan kesejahteraan;
b. mengingatkan sesama agar melakukan apa yang benar dan berkenan bagi Tuhan;
c. mewartakan ajaran iman agar sesama menjadi orang katolik yang lebih baik;
d. menolong sesama agar mereka semakin menghormati, mengalami sukacita dan mencintai Tuhan.

Yang termasuk sikap jahat / salah adalah:
a. menyalahkan orang lain karena merasa senang / bangga jikalau dapat menyalahkan;
b. dengan sengaja: tahu, mau dan sadar melakukan sesuatu yang berlawanan dengan ketentuan yang berlaku;
c. menghalang-halangi orang lain untuk mengalami kebenaran, sukacita dan kasih Tuhan.

Yang termasuk dosa kelalaian (sin by omission) adalah:
a. tahu tentang apa yang benar dan baik, tetapi memilih untuk tidak melakukan yang baik dan benar;
b. melakukan sesuatu yang menyebabkan / memudahkan orang lain jatuh dalam kesalahan / dosa;
c. membenarkan diri dengan menyalahkan orang / pihak lain

Kiranya masalah etika berpakaian dan perilaku salah di dalam gereja sangat sedikit orang yang dengan sengaja dan terencana memamerkan keindahan tubuh atau mode pakaian supaya orang lain (terutama yang masih dangkal iman) jatuh dalam pencobaan. Hemat saya, kebanyakan dari jemaat memang belum tahu (ignorantia) membedakan dan menempatkan diri karena sangat sedikit diajarkan, baik di lingkungan rumah tangga ataupun sekolah dan dalam pergaulan. Maka sangat baik jikalau kita mulai mengenal dan mengajarkan apa yang baik, benar dan berkenan bagi Allah. Hendaklah kita sekalian juga tidak jatuh dalam dosa kelalaian dengan tidak mewartakan apa yang baik dan benar ini. Mari kita mulai dari diri kita masing masing, dari keluarga kita lalu di paroki kita untuk saling mengingatkan satu sama lain. Mulai sekarang kita belajar menguduskan hati, tindakan, dan penampilan kita di saat kita menghadap Tuhan. Tentu ini bukan soal kemewahan dan mode pakaian, melainkan soal sikap penghormatan dan penghargaan akan martabat Tuhan yang kita sembah dan muliakan.

Tuhan memberkati setiap usaha baik Anda.


CATATAN APLIKATIF:

Karena ada permintaan kepada saya untuk menjelaskan dengan lebih konkrit, kiranya beberapa poin yang saya kumpulkan dari berbagai informasi baik lisan maupun internet di bawah ini bisa dipakai sebagai ukuran praktis:

1. Atasan model offshoulder biasanya digunakan untuk ke pesta, dan akan kurang sopan apabila dikenakan ke gereja. Apalagi dengan potongan dada yang rendah. Juga tali bra yang seharusnya berfungsi sebagai pakaian dalam, malah ditampilkan di luar. Pundak dan bahu tertutup adalah pakaian yang sopan.
2. Tank top atau blouse U can C, apapun alasan pemakaiannya sangatlah tidak tepat dikenakan ke gereja. Jika tetap akan dikenakan, lebih baik bila dikombinasikan dengan bolero, blazer, cardigan, selendang, atau scarf.
3. Apabila akan menggunakan atasan dengan lubang di punggung dan tanpa lengan, atau baju dengan potongan dada rendah sebaiknya mengenakan scarf. Termasuk di sini pakaian di dalam pesta perkawinan hendaknya dibedakan dengan pakaian mempelai saat pemberkatan pernikahan di gereja. Tentu pakaian mempelai ketika menerimakan sakramen suci juga dipilih yang layak / pantas dengan menghiraukan ketentuan diatas.
4. Celana hipster dengan atasan yang pendek, sehingga apabila berlutut atau duduk akan tampak bagian yang tidak layak dipertontonkan, tentulah sangat mengganggu orang yang ada di belakangnya.
5. Baju tipis (kain transparan) yang memamerkan bentuk dan warna pakaian dalam, tidak layak untuk dipertontonkan di gereja.
6. Bawahan yang pantas dipakai disarankan di bawah lutut, atau sekurang-kurangnya menyentuh lutut.
7. Celana pendek tidak dikenakan kecuali oleh anak kecil. Namun adalah sangat mulia jikalau sejak kecil anak dilatihkan untuk memakai celana panjang saat pergi menghadap Tuhan di gereja.
8. Sandal japit sudah menjadi pemahaman umum bukanlah alas kaki yang pantas untuk ke gereja.
9. Topi yang tidak dimaksudkan dibuat untuk peribatan hendaknya tidak dipakai di dalam gereja.
10. HP sebaiknya dimatikan saat misa berlangsung. Tidak pada tempatnya menerima telepon, ber-SMS, apalagi bermain games dalam gereja.
11. Tempat untuk bersujud bukan merupakan alas untuk sepatu dan sandal.

Sumber: http://www.indocell.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar