Translate

Jumat, 24 Mei 2013

Doa Ibu Sepanjang Masa

=Mamma'ko Nabumbun Lobo',..."(Remah-remah Pertapaan)

Seperti kebiasaanku di pagi hari setelah doa pagi aku akan segera memasak air untuk kopi pagiku kemudian duduk di depan pendopo payung menikmati segelas kopi hitam dan membakar sebatang rokok class mild sembari membaca status terbaru di FB. Pagi ini ada yang special dengan menu kopiku, kopi arabika tumbuk (kopi paklambuk) kucampur dengan kuning telur ayam kampung. Menu ini sesekali kubuat ketika badan kurang begitu fit atau ketika akan melakukan kunjungan stasi yang menguras banyak energi. 

Kubuka FB dengan BB dan kulihat ada teman baikku yang berulang tahun. Kuingin menyapanya dengan ucapan selamat ulang tahun sekaligus menjadikan sapaan dan ucapan tersebut sebagai doa dan KaDo-ku. Kucoba menyusunnya dalam untaian puisi ulang tahun tetapi terasa lucu dan aneh karena aku bukanlah seorang pujangga yang pandai memainkan kata dan frasa. Kuhapus kembali karena akan membuatnya tertawa. Lalu kubuatlah KaDo ini dalam bahasa Toraja, juga bukan dalam bentuk puisi tetapi dalam bentuk doa dan kisah:

Sangmaneku,...!!!
Salama' allo kaditibussananmu tama te lino. Denno upa' ammu masakke mairi' ammu marudinding lan katuaoanmu. Sebagai KaDoku, kuingin memberimu sebuah kisah ulang tahun sebagai doa dan kisahku untukmu.
Engkau pasti tidak tahu bahwa waktu kecil ibu dan nenekmu meninabobokanmu dengan doa-doa indah mereka, "Mamma'ko nabumbun lobo', naparitangnga kasalle. Denno upa' ammu lobo' mukasalle, ammu manarang mukinaya, ammu bida mubarani, ..." Aku membayangkan kata-kata ini didoakan oleh ibu dan nenekmu sesering mungkin setiap kali engkau menangis dan akan menidurkanmu karena ibumu pernah berkisah tentang dirimu waktu engkau masih bayi yang sukaknya nangis.

Kuingin membangunkanmu dari tidurmu akan arti doa ibu dan nenekmu itu. "Mammakko nabumbun lobo', naparitangnga kasalle ...denno upa' ammu lobo' mu kasalle". Sebua doa penuh harapan bahwa semoga dirimu bertumbuh dalam perkembangan seperti harapan banyak orang yakni bertumbuh sehat dalam jasmani dan rohani. Dan harapan bahwa kelak dirimu menjadi orang yang berguna dan menjadi orang besar (ammu lobo' mu kasalle). Kasalle atau kapua, bukan dalam arti hurufiah tetapi kasalle dalam harapan menjadi orang terkenal dan sukses "mendadi to kapua". 

Doa dan harapan kedua ibu dan nenekmu ketika itu adalah, "Ammu manarang mu kinaya". Sebuah harapan dalam doa supaya dirimu menjadi orang yang berpengetahuan, tetapi bukan sekedar berpengetahuan saja tetapi supaya pengetahuan yang engkau miliki engkau gunakan untuk membangun dirimu dan orang lain, menjadi "to kinaya", menjadi orang yang tahu menggunakan ilmunya alias menjadi orang bijak yang berguna bagi banyak orang. Karena itulah di saat orang berulang tahun diucapkan kata semoga panjang umur, bukan saja supaya umurnya panjang tetapi bahwa supaya hidupnya berguna bagi banyak orang.

Doa dan harapan ketiga ibu nan nenekmu ketika itu (dan mengharapkan bahwa sekarang sudah atau sedang akan berbuah) adalah, "ammu bida mu barani". Bida atau bidja adalah istilah untuk ayam jago. Maka ketika ibu dan nenekmu mengharapkan dan mendoakanmu supaya dirimu menjadi seperti ayam jago yang tidak pernah takut kepada siapa pun (kecuali Puang Matua) sesungguhnya mereka berharap supaya dirimu menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan; mengatakan salah kalau salah dan benar kalau benar tanpa takut dengan siapa pun. Tapi tentu saja haruslah engkau bijaksana dalam hal ini. Sang Guru telah mengajarkan bagaimana berhadapan dengan setiap situasi; hendaknya tulus seperti merpati,...

Sangmaneku,...!!!
Di hari ulang tahunmu hari ini, aku hanya datang untuk membangunkanmu, jangan sampai engkau tertidur dalam mimpi panjangmu. Mengingatkanmu akan tiga "doa sakti" ibumu di masa bayimu beberapa puluh tahun lalu; menjadi orang sukses, bijaksana, dan berani membela kebenaran dan keadilan tanpa takut dan gentar kepada siapaun bagai ayam jantan (manuk bidja). Supaya dirimu menjadi orang yang suses dalam hidup, menjadi orang yang berpengetahuan dan bijaksana, dan menjadi orang yang hanya takut kepada Allah.

Sangmaneku,...!!!
Aku akhiri ucapan kasihku di hari bahagiamu pada hari ini sampai di sini dulu. Lain kesempatan kita bersua kembali dalam kisah dan cerita. Pekerjaan dan pelayanan menunggu; baik diriku maupun dirimu. Untuk aku, aku masih akan menguras kolam di samping dapur untuk makan siang kami hari ini karena tikua ma'tik bangngomo tu elo makkande-kande lele dumbo, laki piong opa sola don lau. Marasa ade' nakua sangbanuangki, hahaha.***

Kawasan Rawan Longsor
(Sangpaningoanmu tommu bitti')

Kamis, 23 Mei 2013

Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan

=Mari berfilsafat Cinta bersama Gabriel Marcel=
(Remah-remah Pertapaan)

Tahukah Anda bahwa tema pembicaraan paling laris manusia sepanjang abad bukanlah Tuhan atau Allah, tetapi cinta??? Lihatlah saja, entah sudah berapa kilometer buku tentang cinta andaikan dijejer di jalan raya; entah sudah berapa gudang lagu dan filem tentang cinta yang pernah dicipta oleh manusia; dan tak terhitung jumlah manusia yang pernah bahkan mungkin sedang atau akan menjadi korban cinta. Barangkali anda adalah salah satu di antaranya, hahaha. Anda tidak perlu heran dan terkejut, karena manusia pada umumnya terlahir karena cinta. Maka tidak tanggung-tanggung, Gabriel Marcel (seorang filsuf kontemporer) menghabiskan sebagian besar energinya untuk berbicara tentang cinta. 

Dari pertapaanku, di depan jendela raksasa (ukuran 275 cmx4m) rumahku yang sengaja kubiarkan terbuka 24 jam setiap hari, ketika bunyi binatang malam menyambut malam dan kegelapan mulai meliputi kampung Bokin, aku duduk menatap jauh ke depan walau pandanganku tertutup oleh gelapnya malam di luar rumahku tetapi sayup-sayup tertangkap olehku serangkaian kisah perjalananku melayani umat Allah di pedalaman Toraja bagian timur. Aku tiba-tiba tersenyum saat alam sadarku memunculkan kata "Melayani dengan cinta". 

Entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum saat pikiranku menggenggap kata tersebut. Mungkin karena atas nama cinta itulah aku harus terkapar seharian dan harus mengurus semuanya serba sendiri. Atas nama cinta, kemarin aku naik-turun kota, dan pulang-pergi ke pedalaman; mulai dari pagi setelah kerja bersama tukang di depan rumah, turun ke kota untuk urusan paroki, dan pulang ke rumah untuk kemudian terus lagi ke pedalaman untuk pelayanan orang mati sampai kehujanan di jalan dan pulang tengah malam. Semuanya "katanya" atas nama cinta. Tetapi sayang, aku mulai tersadar bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Karena itulah aku terkapar sepanjang hari karena energiku terbuang saat mengetahui bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Bagaimana tidak? Saat sebelum makan malam bersama di pedalaman, aku sempat melontarkan "harapan" untuk meminta sumbangan tenanga beberapa orang dari kampung tersebut untuk datang membantu membenahi longsor pastoran, dan yang kudengar adalah "penolakan halus" dengan alasan jalanan yang rusak. Aku sungguh-sungguh tidak siap mendengar "penolakan halus" tersebut dan spontan aku berkata, "Oo, kalau aku yang ke pedalaman mengunjungi kalian, jalanannya tiba-tiba diaspal, tapi kalau kalian yang ke pastoran jalanannya rusak???" Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku diliputi tanya, "Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan,..." 

Mungkin aku tanpa sadar menjadi penganut aliran "Do ut des = memberi untuk menerima", entahlah. Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terjatuh dalam aliran tersebut, tetapi alam bawah sadarku berteriak dan mengamuk, sehingga energiku terkuras habis nyaris seperti tangki motor yang kehabisan bensin di pedalaman.

Dalam adaku yang nyaris kehabisan energi, di depan jendela rumahku di malam ini, tiba-tiba lamunanku terbang ke ruang kuliah sekitar 12 tahun lalu saat duduk manis di bangku filsafat mendengarkan Prof. DR. Sudiarja, SJ menjelaskan tentang teori "filsafat cinta" Gabriel Marcel (1889-1973). Kucoba mengingat bagaimana Marcel membagi empat tingkatan cinta: 1. Kerelaan, 2. Penerimaan, 3. Keterlibatan, dan 4. Kesetiaan. 

Marcel dengan teori aku engkau dalam orang lain, dan aku engkau dalam sesama, membuatku bermenung dan bermenung. Empat tahapan cinta Sang Filsuf Cinta di atas memancingku untuk merefleksi diri. Tahap pertama yakni kerelaan (Prancis: disponsibilite), akhirnya mengantarku untuk menyadari fondasi cinta adalah kerelaan atau tanpa paksaan. Baik aku, maupun umat yang aku layani tanpa sadar membuang fondasi ini (kerelaan). Masing-masing berangkat dengan asumsi kerelaan yang berujung keluhan dan seribu satu alasan. Maka jangan berharap menuai buah cinta, karena fondasinya rapuh dan tidak kokoh bagai fondasi depan rumahku yang "seharusnya (bukan terpaksa) roboh" karena niat baik awal diracuni dengan seribu satu alasan.

Tahap berikutnya setelah kerelaan adalah penerimaan (Prancis: reseptivite), sebuah tahap dimana seharusnya yang lain dipersilahkan untuk memasuki dunia masing-masing dengan mendengarkan stu dengan yang lain. Sebuah tahapan yang sangat berbahaya, karena terkadang jatuh dalam prinsip aku berbeda dengan dirimu karena anda adalah yang lain. Godaan terbesar dalam tahapan ini adalah ingin menang sendiri seperti lagunya Titiek Sandora. Aku sulit menerima situasi bahwa cinta terkadang bertepuk sebelah tangan karena tidak memahami alasan di balik seribu satu alasan. (Bersambung). Mohon maaf aku akhiri di sini, karena pekerjaan dapur memanggilku untuk melaksanakan kewajiban makan supaya kondisi fisik tidak semakin parah.***

Kawasan Wajib Longsor

Selasa, 21 Mei 2013

Tangan Kiri versus Tangan Kanan

Remah-remah dari Pertapaan).

Konon katanya pernah pada suatu ketika terjadi pertengkaran sengit di antara tangan kiri dengan tangan kanan. Penyebab pertengkaran di antara mereka dipicu oleh tangan kiri yang mogok kerja. Masalah mereka sangat sepele saja, yakni "harga diri" yang oleh bahasa manusia dinamai "ketersinggungan". Konon, tangan kiri hanya tersinggung ketika suatu waktu ia menerima pemberian yang diberikan kepada tuannya. Kata-kata spontan sahabat tuannya, "Eee,... tidak sopannya ni orang, terima pakek tangan kiri". 

Ia sudah tidak tahan dengan komen-komen yang ditujukan tuannya kepadanya. Rasa sakit yang selama ini disembunyikannya sudah tidak bisa disembunyikannya lagi. Mungkin karena tempat menyembunyikannya sudah full, hahaha. Ia tidak habis pikir bahwa setiap kali ia melakukan "kebaikan" justru dicap sebagai tindakan kurang sopan bahkan kurang ajar atau juga beberapa kali mendapat tamparan oleh tuannya, dan sangat berbeda dengan saudaranya (tangan kanan) ketika melakukan "kebaikan" yang sama, saudaranya itu justru mendapat pujian selangit oleh tuannya.

"Sinting kaliq ni manusia, setiap kali aku melakukan tindakan baik selalu saja dihina dan dianggap tidak sopan, tapi kalau aku mengerjakan yang hina dan kotor mereka malah memujiku", katanya. Dan karena sudah tidak tahan dengan komen-komen yang ditujukan kepadanya setiap kali melaksanakan tugas "mulia", selalu saja dipandang sebelah mata. Akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara kepada "saudaranya", tangan kanan.

"Hai saudara, apa shi salahku dan apa kelebihanmu, mengapa aku begitu hina di mata tuan kita sementara engkau begitu mulia bagi mereka? Bukankah kita ini bersaudara, tetapi mengapa pekerjaanku selalu untuk urusan yang kotor saja dan tugasmu selalu yang baik, bahkan aku tidak boleh menyapa Allah kita karena itu adlah tugasmu???, tanyanya kepada tangan kanan.

"Ya namanya saja kiri, jadi takdirmu dah memang di kiri, yang memang kerjanya yang jelek dan kotor. Jadi terima saja", kata tangan kanan.

"Jadi kamu setuju dengan manusia yang mengata-ngataiku itu? Otakmu dan otak mereka sudah saatnya dicuci dan dibersihkan", katanya dengan sedikit kesal.

"Apa, otakku mau dicuci? Tidak salah, hahaha... otakmu yang harus selalu dicuci karena memang kau selalu berhadapan dengan yang kotor", kata tangan kanan mulai membela diri.

"Okey, sekarang jawab pertanyaanku. Apakah memang Tuhan kita mencipta aku dengan tugas hina seperti ini, dan saudara untuk tugas yang lebih terhormat? Bisakah kalian beri aku penjelasan mengapa harus seperti itu?", katanya dengan sedikit emosi.

"Dari tadi aku dah bilang karenanya saudara dicipta sebagai tangan kiri dengan kodrat jalan hidup kiri", kata tangan kanan. 

"Apa,... saudara bilang kodrat jalan hidup kiri? Jadi, apakah tidak boleh tugas saudara sesekali kita pertukarkan?"

"Lha iya lha iyalah. Pokoknya tugasku untuk yang baik-baik, yang terpuji, dan yang suci dan bersih. Misalnya:membuat tanda salib, merias wajah, mengucapkan salam, makan, dan seterusnya-dan seterusnya", kata tangan kanan mempertegas perbedaan di antara mereka.

"Oke, rupanya kendatipun kita bersaudara tetapi ternyata kita sendiri yang tidak saling menghormati, bahkan saudara sendiri mempertegas bahwa tugasku memang yang hina dan kotor, dan tugas saudara yang suci dan mulia. Saat ini pun aku mau bilang, terhitung detik ini aku mogok kerja, titik ...", kata tangan kiri dengan kesal.

Dikisahkan bahwa sejak saat itu, tangan kanan mengambil alih semua tugas yang selama ini mereka kerjakan bersama-sama. Sesekali tangan kanan mengeluh dan menangis. Tangan kiri yang mogok kerja hanya senyum-senyum saja dan dalam hati berkata, "Nah, sekarang rasakan kesombonganmu selama ini sebagai tangan terhormat".

Refleksi menarik:
Sangat sulit sekali untuk mengubah pola pikir kita. Lebih konyol lagi, ketika kita dalam posisi diuntungkan, kita cenderung mempertahankan alasan yang suci dan mulia lalu mulai melihat yang lain sebagai yang layak atas "hal yg tdk baik" di mata kita. Tidak jarang kita mengklaim sesuatu yang baik sebagai bagian dari diri kita dan yang kurang baik sebagai bagian dari orang lain, padahal sesungguhnya tidaklah demikian, tetapi karena kita dididik dalam asuhan seperti itu. 

So, mari memotivasi orang lain supaya mengerjakan tugas dan tanggungjawab dengan baik tanpa memandangnya hina dan kotor sebaliknya kita dedikasikan untuk yang lain demi kepentingan dan kebaikan bersama (bonum communae).***

Kawasan Wajib Bahagia

Sunyi yang Tidak Sepi

=Belajar dari Samurai Sejati=
(Remah-remah dari Pertapaan)
Ada lagu, "Sunyi sepi ku sendiri,..." Mungkin boleh dikatakan pencipta lagu tersebut mengambil salah satu dari dua situasi dalam kesunyian. Dalam kesunyian seseorang bisa mengalami kesepian, tetapi juga dalam kesunyian seseorang tidak jatuh dalam kesepian, atau bahasa negasinya "Sunyi yg tidak sepi". Maka mungkin akan menarik kalau kemudian dicipta sebuah lagu "Sunyi yang tidak sepi walau ku sendiri,...", hahaha. Siapa minat untuk mencipta lagu dengan judul tersebut, jangan lupa traktir aku kalau beredar kasetnya, karena aku dah bantu kasih ide, hahaha.

Di sore menjelang malam di atas buntu Bokin, kuingin "mencipa" sebuah kisah dalam kesunyian yang tidak sepi tersebut. Anda jangan mengidentikkan kesunyian dengan kesepian. Sunyi tidak identik dengan sepi dan sebaliknya. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan contoh untuk itu. Anda mungkin biasa mendengar pedagang kaki lima berkata, "Hari ini pembeli di sini sepi sekali,...", padahal di sampingnya adalah penjual kaset musik rock atau pop yg memperdengarkan lagu-lagunya dengan volume spiker yg maksimum. 

Kesunyian tidak identik dengan kesepian, atau sunyi tidak identik dengan sepi. Itulah yang aku alami hampir setiap hari di pertapaanku, yang kemudian kusebut dengan Kawasan Wajib Bahagia Bokin. Kendati dalam kesendirian, tanpa televisi atau musik, plus tanpa suara manusia lain selain suaraku ketika berteriak karena terantuk oleh gelapnya malam atau memanggil "Mara" anjing peliharaanku untuk mendpatkan jatah makannya, atau sekedar memetik gitar sembari menyanyikan lagu-lagi kenangan, tetapi yang namanya kesepian hampir tidak aku rasakan. Di tengah kesunyian itu, aku larut dalam kerja dan kerja; mulai dari urusan Tuhan Allah sampai urusan dapur; dari altar, meja kerja sampai ke kebun dan kolam ikan, dll. Waktu berganti dari pagi hingga malam, dan seakan-akan aku tidak merasakannya, bahkan terkadang kurasa waktu 24 jam sehari tidaklah cukup.

Sore menjelang malam ini, yang terdengar adalah bunyi ayam-ayamku yang mulai naik bertengger ke atas pohon mangga samping rumahku, bunyi binatang malam yang indah merdu bagai musik pengiring nyanyian para serafim menyambut malam, berpadu dengan suara air yang jatuh ke dalam bak penampungan di samping dapurku. Tidak ada suara bising seperti yang kudengar kemarin-kemarin di kota Makassar. Tidak ada teriakan keras, "Gooolll,..." mereka yang menonton sepak bola. Tidak ada kisah suara musik atau suara televisi yang ribut-ribut menyorot politisi musang berbulu domba. Tidak ada suara karyawan yang mempersiapkan makan malam di refter (dapur) karena aku memang tinggal seorang diri di atas bukit yang jauh dari tetangga di lembah. Juga tidak ada suara masjid atau suara-suara ciptaan manusia. Yang ada hanyalah suara binatang malam dan anjing tetangga di seberang sana serta suara air gunung yang mengalir ke bak penampungan berjalan seiring berjalannya malam dalam kegelapan kampung kampung Bokin. 

Dalam suasana "super" sunyi itu, aku sama sekali tidak merasa kesepian, karena pekerjaan di meja kerja, dapur, dan OL dan membuat filem menantiku, hahaha. Situasi ini telah kulalui selama tiga tahun semenjak masa tugasku di bagian timur Toraja bernama Bokin. Dengan bantuan cahaya lampu PLN swadaya yang mati-hidup mati-hidup, yang baru satu tahun terakhir ini kami sambung dari kampung seberang dan tidak sanggup memutar musik tape atau televisiku yang memang ukuran besar, aku mencoba merangkai kata dan kalimat di malam hari, atau mencoba menyambung filem yang satu dengan yang lainnya bagai seorang tukang las sampai larut malam sehingga terkadang aku sendiri lupa waktu ternyata ayam jantan di samping sumahku berkokok tanda sudah subuh. Begitu terus setiap hari kalau aku tidak pergi melayani ke pedalaman dan pulang tengah malam mendapati rumahku dalam keadaan gelap gulita karena lupa men-on-kan lampu tenaga surya di bagian dapur dan ruang tengah rumahku.

Di tengah kesunyian yang tidak menghadirkan kesepian bagiku kurasakan betapa indahnya hidup di desa yang tidak panas, bebas nyamuk, dan bebas suara bising kendaraan dan suara-suara buatan manusia yang lain. Dengan ini aku bisa masuk dalam diriku sendiri untuk berbicara dengan diriku dan alam yang sunyi ini. Anda jangan tersinggung, aku tidak menuduh suasana bising sebagai suatu suasana dimana anda sulit berbicara dengan diri anda sendiri. Situasinya sesungguhnya sama saja. Kendati dalam kebisingan, kita bisa saja menciptakan kesunyian yang akan melahirkan ketenangan batin dan kebahagiaan. Tetapi bukan tidak mungkin juga dalam kebisingan kita berjumpa dengan kesepian yang sungguh-sungguh menyiksa. Dan sebaliknya di tengah kesunyian, kita bisa saja menciptakan suasana bising yang melahirkan kegalauan, tetapi bukan tidak mungkin pula untuk menemukan ketidaksepian yang membuahkan ketenangan batin dan kebahagiaan.

Maka sekarang aku mau mengatakan benang merah dari situasi apa pun yang dialami oleh manusia;" Bahwa entah dalam kebisingan atau kesunyian, kita bisa menciptakan suasana yang bisa melahirkan ketenangan batin dan kebahagian, dan atau sebaliknya bahwa entah suasana kesunyian atau kebisingan kita pun bisa terjatuh dalam suasana galau tidak menentu". So, kunci rahasianya ada di tangan masing-masing orang; mau mensyukuri situasi yang ada atau "bermimpi" untuk mengubahnya, kalau yang terakhir maka bersiaplah untuk bertarung dengan kegalauan dan rasa penyesalan yang tsk tersembuhkan. Untuk masuk dalam situasi apa pun, belajarlah dari seorang "Samurai sejati", yang tugasnya hanya berlatih dan berlatih dengan senjata super tajam di mana ia sendiri tidak pernah berpikir bahwa apakah latihan pedang yang ia lakukan akan menghasilkan kemenangan atau justru berbuah maut. Lalu apa habenya (hubungannya)? Temukan HBny dalam suasana sunyi yang tidak sepi kendati anda sedang berada di tengah kota Metro yang bising***

Kawasan Wajib Bahagia

Sabtu, 04 Mei 2013

PAUS FRANSISKUS : ORANG KRISTIANI YANG SUAM-SUAM KUKU MELUKAI GEREJA

Semua orang Kristiani memiliki tugas untuk meneruskan iman dengan keberanian, orang Kristiani yang suam-suam kuku, iman yang suam-suam kuku melukai Gereja, karena menciptakan perpecahan. Keberanian untuk menjadi orang Kristiani dalam masyarakat saat ini adalah fokus dari homili Paus Fransiskus Jumat pagi 3 Mei 2013 di Casa Santa Marta.

Paus Fransiskus berkonselebrasi dengan Uskup Agung Claudio Maria Celli, Ketua Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial dan Misa dihadiri oleh Garda Swiss Kepausan bersama komandan mereka Daniel Rudolf Anrig. Pada hari Minggu 5 Mei 2013, Garda Swiss akan mengadakan perayaan tahunan mereka, memperingati berdirinya pada tahun 1527 dengan Misa dan pengambilan sumpah anggota baru.

Pada akhir perayaan, Paus Fransiskus menyampaikan kepada mereka salam khusus, menggambarkan pelayanan mereka sebagai "kesaksian kesetiaan yang indah terhadap Gereja" dan "kasih bagi Paus".

Dalam homilinya yang berfokus pada bacaan hari ini (1 Kor 15:1-8; Yoh 14:6-14), Paus Fransiskus mengatakan semua orang Kristiani yang telah menerima karunia iman harus meneruskan karunia ini oleh pemberitaannya dengan kehidupan kita, dengan perkataan kita. Namun, Paus bertanya, "Apakah iman yang mendasar tersebut? Iman itu adalah iman dalam Yesus yang bangkit, dalam Yesus yang telah mengampuni dosa-dosa kita melalui kematian-Nya dan mendamaikan kita dengan Bapa" : "Menyebarkan iman ini mengharuskan kita menjadi berani: berani menyebarkan iman. Sebuah keberanian kadang sederhana. Saya teringat - maaf - cerita pribadi: sebagai seorang anak setiap Jumat Agung nenek saya membawa kami pada Prosesi Lilin dan pada akhir prosesi mendatangi Kristus yang terbaring dan nenek saya menyuruh kami berlutut dan mengatakan kepada kami anak-anak, 'Lihatlah Dia yang sudah mati, tetapi besok Dia akan bangkit!'. Itu adalah bagaimana iman masuk: iman dalam Kristus yang Tersalib dan Bangkit. Dalam sejarah Gereja ada banyak, banyak orang yang telah ingin mengaburkan kepastian yang kuat ini dan berbicara tentang kebangkitan rohani. Tidak, Kristus hidup".

Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengatakan bahwa "Kristus hidup dan juga hidup di antara kita", menegaskan bahwa orang Kristiani harus memiliki keberanian untuk memberitakan kebangkitan-Nya, Kabar Baik. Tetapi, beliau menambahkan ada juga keberanian lain yang Yesus minta dari kita: "Yesus - mengatakannya dalam istilah yang lebih kuat - menantang kita untuk berdoa dan mengatakan ini: 'Apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak'. Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya ... Tetapi ini benar-benar berkuasa! Kita harus memiliki keberanian untuk pergi kepada Yesus dan memohon kepada-Nya: 'Tetapi Engkau mengatakan hal ini, melakukannya! Jadikanlah iman bertumbuh, jadikanlah evangelisasi bergerak maju, bantulah saya untuk memecahkan masalah ini' ... Apakah kita memiliki keberanian ini dalam doa? Atau kita sedikit berdoa, ketika kita bisa, menghabiskan sedikit waktu dalam doa? Tetapi itulah keberanian, bahkan dalam doa ... ".

Paus mengingat kembali bagaimana kita membaca dalam Kitab Suci bahwa Abraham dan Musa memiliki keberanian untuk "bernegosiasi dengan Tuhan". Sebuah keberanian "dalam mendukung orang lain, dalam mendukung Gereja" yang juga kita perlukan hari ini: "Ketika Gereja kehilangan keberanian, Gereja masuk ke dalam suasana 'suam-suam kuku'. Suam-suam kuku, orang Kristiani yang suam-suam kuku, tanpa keberanian ... Hal tersebut begitu melukai Gereja, karena suasana suam-suam kuku menarik Anda ke dalam, dan masalah timbul di antara kita; kita tidak lagi memiliki cakrawala, atau keberanian untuk berdoa ke surga, atau keberanian untuk memberitakan Injil. Kita suam-suam kuku ... Kita memiliki keberanian untuk terlibat dalam hal-hal kecil kita dalam kecemburuan kita, iri hati kita, hal mengenai karir kita, dalam egoisme bergerak maju ... Tetapi, dalam semua hal ini, tidak baik bagi Gereja: Gereja harus berani! Kita semua harus berani dalam doa, dalam tantangan Yesus".
Sumber: Hidup Baru