Translate

Selasa, 11 Desember 2012

Santa Claus


Semarak Perayaan menjelang Natal sudah mulai dirasakan ketika kita memasuki bulan Desember. Bahkan diluar negeri seperti Negara-negara Eropa dan Amerika hampir tiap harinya diselenggarakan lomba-lomba menyambut hari Natal. Contohnya di Amerika yang dimulai dengan parade thanksgiving dan Natal yang diselenggarakan oleh salah satu pusat perbelanjaan terbesar di New York, Lomba lari sambil membawa Christmas pudding di London, dan kemaren di kota Dresden, German diadakan pembuatan kue natal terbesar yang harus digiring ke tengah kota dengan menggunakan kereta unik khas Natal. 

Jumat, 07 September 2012

Mana Orang Muda Katolik Sekarang?

Mencoba menulis lagi tentang kaum muda katolik agaknya membuka kembali kegeraman kepada komunitas muda katolik di tahun 2004. Tahun 2004 setidaknya bisa menjadi momentum bagi kaum muda katolik untuk sedikit membuka kepedulian kepada nasib bangsa yang semakin terpuruk. 

Awal 2004 melalui jejaring mahasiswa jogjakarta, solo dan semarang (joglosemar) saya kembali diajak untuk menyambangi komunitas kaum muda katolik yang sudah lama saya tinggalkan. Kala itu, dengan sedikit promotor dari Wisma Mahasiswa Yogyakarta, terjadilah sebuah TFT Voter education (VE) yang dilaksanakan di Wisma Salam, Muntilan. Komitmen dari peserta TFT tersebut yaitu melakukan repetisi di masing-masing wilayah dampingan. Akhirnya, di Yogyakarta juga melakukan TFT serupa dengan dukungan dari Kevikepan DIY. Setelah perjuangan yang sedikit berat, TFT VE bisa dilaksanakan dengan diikuti oleh mudika di seluruh kevikepan yogyakarta.

Sekitar 50 kaum muda katolik pada waktu itu terjaring untuk mengikuti TFT Voter Education. Sayangnya, di akhir pelatihan terjadi konflik yang berkepanjangan yang muncul karena prejudice dan agaknya juga kemalasan. Adanya dugaan bahwa TFT tersebut ditunggangi oleh salah satu Organisasi Massa yang berkedudukan di Jakarta menjadi penghambat ketiadaan fllow-up. Berkedok adanya ditungganginya TFT VE tersebut muncul resistensi dari kelompok mudika untuk menyatukan gerak melakukan VE di masing-masing paroki. Akhirnya, kesepakatan akhir yang bisa ditempuh adalah menyerahkan reduplikasi VE di masing-masing paroki oleh masing-masing mudika.

Sebuah Refleksi

Follow-up TFT yang berasumsi akan dilakukan secara otonom oleh masing-masing mudika agaknya selalu menjadi omong kosong belaka. Cukup banyak TFT yang dilakukan oleh Youth Center Salam yang kemudian menyerahkan pada masing-masing individu untuk melakukan reduplikasi. Pertanyaannya adalah berapa banyak dari mereka yang benar-benar melakukan reduplikasi? Seringkali kegagalan TFT adalah ketiadaan mekanisme pasca pelatihan. Peserta TFT bak bayi yang langsung dimasukkan hutan maka akan mati dimakan macan. Ketuntasan. Semangat inilah yang hilang di dalam spritualitas gerakan katolik. Pelatihan yang dilakukan hanya sekedar memproduksi pelatihan yang berjibun namun tidak mengadakan pendampingan. Beberapa aspek yang terpenting dalam sebuah pendampingan adalah konsistensi dan kesetiaan untuk menggeluti permasalahan lokal. Salah satu institusi yang dimotori oleh orang-orang katolik yang juga mengembangkan pendampingan di bidang keuangan mikro juga menghadapi problem yang serupa. Setelah berproses lebih dari tiga dekade, pendampingan kepada kelompok usaha mikro semakin terbengkalai karena ketiadaan konsistensi dari pendamping-pedampingannya.

Permasalahan yang terpenting adalah bagaimanakah konsep pendampingan yang sekarang dikembangkan oleh Gereja Katolik. Pendampingan perlu dilihat tidak hanya sekedar menemani dan mengembangkan Iman semata. Pendampingan juga perlu dilihat untuk menemukan dan menanggapi permasalahan kontekstual yang terjadi di sekelilingnya. Sayangnya, konteks terakhir tersebut jarang diperhatikan. Selama ini pendampingan di masing-masing paroki yang konvensional atau komunitas-komunitas katolik dilakukan oleh seminaris. Dan yang patut disayangkan lagi hanya pendekatan pendampingan rohani yang lebih ditekankan.

Mempertanyakan pendampingan

Permasalahan yang sekarang perlu diselesaikan adalah format pendampingan seperti apakah yang harus dilakukan bagi orang muda katolik. Secara konseptual, pendampingan perlu melihat pada dua aspek. Pertama, aspek pengembangan iman. Mengenai bagaimana implementasinya gereja sudah sangat memahaminya. Kedua, aspek sosial. Pendampingan dilakukan untuk mengajak kaum muda katolik menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekeliling mereka. Pendampingan menjadi bermakna ketika mengakar pada kebutuhan yang sangat praksis di masyarakat.

Namun, model pendampingan tersebut memerlukan sebuah orientasi ulang terhadap pemaknaan kerja dan karya mudika di masyarakat. Pemaknaan karya sebagai orang katolik yang tidak terbatas pada kegiatan keagamaan dan diperluas pada aktivitas sosial yang tidak caritatif. Memperluas kegiatan tidak hanya disekitar altar, tetapi keluar ke jalanan. Setidaknya tuntutannya adalah keluar dari kepompong pemaknaan kegiatan agama.

Permasalahan kedua yang perlu diselesaikan adalah pendamping itu sendiri. Siapakah yang mampu mendampingi dan bagaimana pendamping bisa totalitas dengan pendampingannya? Sayangnya, orang-orang katolik yang cukup berpotensi dan memiliki karya sosial yang cukup bagus malah tersingkir atau tersingkirkan di luar gereja. Salah satu sebab tersingkir-nya mereka kekecewaan terhadap gereja secara struktural atau karena kritik mereka yang terlalu pedas terhadap gereja.Sebagai sebuah usaha untuk mereformasi pendampingan. Individu-individu yang potensial namun tersingkir tersebut perlu dilibatkan kembali ke dalam pendampingan orang muda katolik. Namun, perlu kerendahan hati dari gereja struktural untuk menerima kritik pedas dari pengikutnya sendiri. Persyaratan terakhir inilah yang sering tidak dimiliki gereja struktural.

Pertanyaan selanjutnya adalah totalitas pendampingan. Pendampingan hanya bisa dilakukan dengan totalitas jika pendampingan hidup untuk, demi dan dari pendampingan. Hal sederhananya adalah bagaimana pendamping mendapatkan nafkah hidupnya dari pendampingan yang dilakukannya. Nah, format pendampingan seperti apakah yang bisa menghidupi pendamping. Misalnya saja, pendampingan yang mengajak mudika untuk mengembangkan pertanian organik, pengembangan usaha mikro ataupun penanganan sampah kota. Setidaknya, pendamping tidak tercerabut dari akar hidupnya dan kaum muda bisa menjajaki dunia pelayanan di luar kegiatan altar.

Memetakan Tantangan

Tantangan awalnya adalah mendorong orang muda katolik untuk keluar dari logika berpikir kegiatan katolik terbatas pada altar. Mendorong mereka untuk berpikir bahwa kegiatan sosial tidak terbatas pada kerja caritatif semata. Usaha ini perlu ditekuni sedikit demi sedikit. Membuka paradigma tersebut tidaklah muda karena kaum muda katolik agaknya lebih menikmat berada di zona nyaman.

Akhir kata, semoga bukan hanya mimpi.

Menuju Mudika Basis

"Mudika lingkunganku tidak hidup, jumlah kami terlalu kecil…”
Begitu keluhan sering terdengar di antara para mudika di lapangan. Jumlah memang, sering menjadi sumber masalah bagi kita semua. Terlebih saat, ini, ketika gereja sepertinya sedang gemar membelah diri ke dalam berbagai unit adminstratif baru, paroki baru, lingkungan baru dan seterusnya. Konon untuk memenuhi kebutuhan untuk lebih menjangkau umat, -atau barangkali- agar kelihatan hidup dan terus berkembang.

Mudika basis 

Mudika basis adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut basis-basis terkecil gereja muda yang mampu hidup dengan dinamis, progresif, dan transformatif. Benar bahwa kita memiliki mudika lingkungan, stasi, wilayah, paroki, dan seterusnya. Namun ini semua hanya menunjuk pada pembagian-pembagian gereja muda mengikuti alur adminstratif gereja. Persoalan yang sering muncul adalah banyaknya mudika yang mati jika hanya bertahan atau membatasi diri dalam batas-batas ini. Mengapa?Karena harus diakui ada syarat sosiologis minimal yang dibutuhkan mudika itu supaya bisa hidup dan bertahan. Yang sering terjadi adalah jumlah mudika dalam satu lingkungan terlalu kecil dalam jumlah. Bagaimana sebuah mudika bisa hidup jika dalam satu lingkungan hanya terdapat 5 sampai 10 mudika?

Ada juga sih mudika yang sangat banyak anggotanya, namun ini komunitas semacam ini tidak banyak jumlahnya. Biasanya, kebanggaan memiliki lingkungan sendiri, dengan santo pelindung sendiri, mengalahkan kesadaran kritis atas batas-batas sosiologis semacam ini. Rekan-rekan muda, tugas kita adalah bagaimana menggarap ini semua. 

Kerja menghidupi mudika lingkungan dengan jumlah terlalu sedikit akan sia-sia saja, karena memang secara sosiologis tidak memungkinkan menopang sebuah komunitas mudika yang hidup. Jadi, di lapangan, dengan melihat kondisi-kondisi yang ada perlu kita bersama (1) mencari cara agar dari segi jumlah dan kualitas, sebuah komunitas mudika yang hidup bisa terwujud. Tugas lebih mendalam lagi muncul: (2) mengorganisir komunitas itu agar tidak hanya sekedar hidup, namun bisa bergerak maju, bersikap progresif, (3) ambil bagian dalam keprihatinan dan pergulatan gereja lokal dan masyarakat umum setempat. 

Untuk itu kita perlu mengenal konsep mudika basis. Entah itu mudika lingkungan, gabungan lingkungan, wilayah, stasi, paroki, kalau itu menjadi lini terkecil komunitas orang-orang muda yang hidup dalam gereja lokal itulah mudika basis. Mudika yang sungguh-sungguh hidup sebagai basis gereja muda lokal. 

Bagaimana strateginya?

1. menyatukan, menghimpun orang-orang muda dalam satu komunitas yang efektif secara sosiologis agar bisa hidup dengan baik, umumnya mudika yang hidup minimal memiliki anggota aktif 15 orang dengan total mudika 30-40 orang. Bagaimana bila satu lingkungan jumlahnya kurang dari 30-40 orang ini?

a. diserap : gabungkan diri dengan komunitas mudika yang lebih besar

b. mudika gabungan : gabungkan beberapa lingkungan dalam lingkup yang berdekatan.

c. mudika wilayah : ini yang dilakukan rekan-rekan Kota Baru beberapa waktu terakhir ini, menggabungkan mudika-mudika lingkungan yang mati, pasif ke dalam unit yang lebih besar dan menjadikannya mudika wilayah (kadang batasnya berbeda dengan wilayah dalam artian resmi gereja setempat). Atau lihat juga Mudika Wilayah Gereja Timur di Pugeran, mereka semua berhimpun secara sukarela-alamiah di tingkat wilayah.

2. mengorganisir komunitas agar bisa bergerak maju, tidak hanya berputar-putar dalam tradisi. Bagaimana kita akan bergerak maju? ini akan kita uraikan lebih jauh nanti

3. mendorong agar komunitas bermakna transformatif bagi anggota dan masyarakat sekitarnya 

Yang harus digarisbawahi adalah bahwa proses-proses ini tidak boleh diartikan sebagai proses linear: komunitas harus benar-benar bersatu agar bisa maju, komunitas harus meriah dulu agar bisa bermakna bagi masyarakatnya, dan seterusnya. Di lapangan, kadang kita jumpai kenyataan bahwa memang ada beberapa rekan muda yang seharusnya aktif di mudika namun setelah melalui berbagai upaya pendekatan tetap tidak bersedia bergabung dalam komunitas kita. Kita harus mampu memberi batas, kapan harus menyapa, dan kapan harus mulai menggiring komunitas ke tingkat yang lebih tinggi, yang lebih matang. Jangan sampai karena satu dua orang, seluruh proses kemajuan komunitas terhambat. 

Jangan bermimpi bisa mengajak semua, karena ini sesuatu yang wajar di lapangan. Hanya saja, tentu kita tak boleh begitu saja meninggalkannya, membenci, dan lain-lain. Kalau terlalu melelahkan untuk mengundang mereka terus menerus, usahakan tetap melibatkan rekan-rekan ini dengan mengajak mereka dalam even-even besar, ziarah, wisata, rekoleksi, natal bersama, dan lain-lain. 

Hubungan mudika basis dengan struktur gereja setempat 

Mudika basis mutlak menjadi bagian dari struktur gereja setempat. Karena karakter mudika basis yang relatif cair dan terbuka, ini membawa persoalan tersendiri.

Reksa pastoral mengikuti jalur-jalur mapan yang sudah ada tentu tak boleh ditinggalkan. Sekalipun seringkali hubungan-hubungan semacam ini tidak bisa berlangsung harmonis, ia tak bisa ditinggalkan begitu saja. Yang harus dibangun adalah pengertian umat setempat dan pengurus jemaat akan perlunya bergerak lintas batas lingkungan/stasi. Ini tentu butuh waktu, membangun hubungan-hubungan dan pemahaman interpersonal dengan pengurus sangat penting dilakukan. Selanjutnya, setelah gerakan menuju mudika basis ini diterima, harus dicari bersama bentuk hubungan dengan pengurus umat setempat. Ini perlu karena jelas komunitas mudika tidak bisa melepaskan diri dari umat, baik itu dukungan sosial maupun dukungan sumberdaya.

Upaya konsultatif antara penggerak gereja muda dan struktur gereja lokal sangat penting dalam integrasi program, penggalangan dukungan bagi upaya pemberdayaan mudika yang kita lakukan, dan wujud nyata dari kesatuan gereja itu sendiri. di lapangan kita temukan beragam bentuk hubungan komunitas gereja muda dan struktur gereja lokal ini, tidak ada standar pasti bagaimana hubungan-hubungan ini harus ditata. Justru di sinilah seni dan keunikannya.Yang jelas, jangan kaku, harus luwes, dan dibutuhkan kesabaran dan keterbukaan di kedua pihak, rekan-rekan penggerak kaum muda dan kalangan sesepuh untuk dapat saling belajar dan saling mendukung satu sama lain dalam upaya mengembangkan dan memberdayakan gereja lokal. Ingat, mereka toh dalam arti luas, sesama penggerak dalam menggereja. Tugas penggerak dalam pemberdayaan gereja muda basis : Ingat tugas-tugas ini bukan tugas mesianik perseorangan, sebaliknya ini semua adalah langkah yang harus dilakukan bersama semua anggota mudika yang lain. Apa yang disampaikan disini hanyalah beberapa isu pokok yang harus menjadi perhatian seorang kader komunitas ! Tugas penggerak dalam gereja muda basis adalah :


membangun secara padu mudika sebagai komunitas maupun sebagai organisasi. Karakter komunal memang menjadi ciri khas mudika, namun harus tetap diingat ia tak boleh begitu saja dilepaskan dari kerja-kerja pengorganisasian yang mutlak untuk dilakukan. Sebaliknya upaya pengorganisasian tidak boleh menindas sisi komunitas, karena di situlah kekuatan dan substansi gereja muda yang sesungguhnya.
terus memotivasi (bukan mendominasi !) gereja muda basis agar mampu hidup dan terus bergerak maju
merancang bersama-sama segenap anggota yang lain, upaya yang sistematis untuk mendorong komunitas tidak hanya menjadi ajang kumpul-kumpul namun sungguh menjadi arena pembelajaran, pengembangan kapasitas diri anggota-anggotanya,
melatih calon-calon penggerak masa mendatang sebagai upaya kaderisasi kader sekaligus memelihara alur transformasi komunitas, termasuk di sini adalah mengirim utusan untuk terlibat bersama komunitas mudika yang lain, maupun berbagai tawaran event yang bisa memperkaya pustaka pengalaman dan wawasan rekan-rekan mudika di basis.
mendukung dan menguatkan jejaring antarmudika, tokoh dan struktur gereja setempat, maupun dengan berbagai pihak yang lain yang sangat dibutuhkan untuk mendukung gerak maju komunitas orang-orang muda.

Jadi, kalau mudika lingkunganmu terlalu kecil untuk hidup, mengapa tidak bermudika basis ? Bergerak lintas lingkungan untuk memberdayakan ? 

Minggu, 29 Juli 2012

Utusan Yesus

        "ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat, dan berpesan kepada mereka supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, rotipun jangan, bekalpun jangan, uang dalam ikat pinggangpun jangan"






         Salah satu profesi sampingan saya adalah sebagai wartawan musik, khususnya jazz. Dalam event-event jazz biasanya saya ikut meliput atau wawancara, baik sendiri atau terkadang bareng rekan dari radio. Suatu kali saya ngobrol dengan rekan saya dari sebuah radio, dia berkata sedang menunggu free pass untuk masuk ke sebuah event jazz. Harga tiketnya sendiri sebenarnya cukup murah, tapi dia hanya mau datang jika mendapatkan tiket gratis atau free pass. "gue nggak mau keluar duit, ini kan tugas, ya harusnya difasilitasi dong.." begitu kira-kira katanya. Fasilitas itu bukan cuma kesempatan masuk gratis, tapi juga ongkos lainnya alias uang jalan. Saya rasa apa yang ia katakan masuk akal, karena untuk urusan itu tentu ada beberapa ongkos yang harus ia keluarkan selama perjalanan. Bagi anda yang mengutus salah seorang pegawai untuk mengantar barang atau menyampaikan sesuatu pada orang lain juga pastinya harus memberikan ongkos atau uang saku untuk dijalan. Ini bukan hal aneh, bukan hal unik, bukan hal baru, tapi merupakan hal yang hampir setiap saat kita lakukan. Yang unik justru ayat bacaan hari ini, ketika Yesus mengutus kedua belas muridNya untuk tugas seperti yang dilakukan Yesus.
          Apa yang dilakukan Yesus cukup unik. Dia mengutus murid-muridNya berdua-dua alias berpasangan, dan melarang mereka membawa apapun, termasuk bekal dan uang. Ini bentuk utusan Tuhan, untuk sebuah tugas Ilahi. Kalau dipikir-pikir, untuk tugas biasa dari atasan yang orang biasa juga kita akan protes kalu ditugasi tanpa dibekali apa-apa. Katakanlah orang yang diutus pemimpin sebuah negara, dia pastilah harus tampik rapi, kalau bisa dengan stelan jas mewah dan berpenampilan ekstra keren. Bagaiman dengan sebuah tugas dari Tuhan? Tuhan Yesus malah melarang utusan-Nya membawa bekal.
          Sepintas mungkin aneh, tapi kalau kita cermati baik-baik, Tuhan Yesus mengajarkan tiga hal penting. Satu, Yesus mendidik para muridNya untuk percaya sepenuhnya pada Dia. Tidak begantung pada harta, materi dan atribut-atribut duniawi lannya, tapi berharap penuh pada apa yang diseidiakan Allah buat mereka. Kedua, segala kemewahan mudah untuk membuat orang berubah menjadi sombong. tapi sebagai murid Yesus, yang selalu berpengang pada kasih setia Allah akan terhindar dari kesombongan. Ketiga, Yesus tahu bahwa sebagai manusia, para murid-muridNya, termasuk kita, bisa setiap saat menjadi lemah, terkadang bisa hilang motivasi, lelah dan sebagainya, maka Dia mengutus berpasang-pasangan, bukan sendirian, agar bisa saling membantu dan menguatkan.
          Tugas mewartakan kasih Tuhan Yesus, mewartakan siapa pribadi Yesus kepada saudara-saudara kita bukanlah tugas ringan. Tapi bukan pula tugas yang tidak mungkin dilakukan. Jika kita mengalami kasih Yesus dan bersungguh-sungguh dalam komitmen mengabarkan injil, kita pun akan mendapat kekuatan dari Allah, Kita tidak akan pernah ditinggalkan sendirian, kita juga akan dilengkapai dengan kuasa-kuasa yang siap dipakai untuk memgemban tugas Amanat Agung. Apakah dengan sungguh-sungguh. tidak perlu takut atau malu dalan mewartakan Injil, tidak perlu ragu, atau merasa tidak sanggup, karena kuat kuasa Tuhan akan selalu beserta kita setiap saat.

Tuhan Yesus Memberkati Kita Semua (AMIN)



Rabu, 11 Juli 2012

Dengan Kasih Tuhan





Suatu hari saya mendapat tamu dua orang ibu yang berteman sejak kecil. mereka punya pengalaman yang mirip "kami sama-sama mengalami keretakkan rumah tangga. kami menuju proses perceraian." ungkapnya. "Lho, apakah kalian sudah lupa akan janji pernikahan dahulu ?" tanyaku.


"Sebenarnya, ya tidak lupa Romo. Hanya kami merasa, diantara kami sudah tidak ada cinta. Yang ada malah kebencian dan saling menyakiti," jawab salah seorang ibu "Apa tidak baik, kembali diusahakan dialog dengan hati yang dingin, kepala dingin dan niatan yang baik ?" usulku. "sudah terlambat Romo. Perceraian menurut kami merupakan pilihan terbaik dari banyak pilihan yang telah lama kami coba," tuturnya klasik.



Pengalaman demikian tak hanya satu dua kali saya temukan. Selama berkecimpung langsung di wilayah pastoral akar rumput, saya menjumpai banyak kasus serupa. Tentu ini menjadi keprihatinan tersendiri. Ketika jalinan kasih memudar dan bahkan hacur, dampaknya luar biasa. Secara langsung akan berdampak pada anak dan masa depannya, apalagi kalau anak masih kecil.



Ada yang salah. Letak kesalahannya, orang tidak mampu merawat dan mengembangkan kasih yang mempersatukan kedua pihak. Orang mengira bahwa kasih yang pernah dirajut sampai diikrarkan di depan altar suci otomatis betumbuh, berkembang dan berbuah lebat. Tidak! Tidak ada yang otomatis dalam menjalin kekokohan relasi suami-istri. Kedua pihak harus berjuang dan terus belajar mengasihi satu sama lain. Yesus telah memberikan perintah yang jelas lagi tegas. Kita tidak sedang dianjurkan oleh Yesus untuk mengasihi tetapi sedang diperintahkan untuk mengasihi.



Ternyata orang harus sadar, bahwa untuk dapat mengasihi dengan benar, orang mesti senantiasa hidup dalam kasih Tuhan, diperbaharui dan terus disegarkan oleh kasihnya. Dengan begitu kita dapat mengasihi sesama apa adanya dan terus bertumbuh dalam kasih.



Mari kita bangkit! Percayalah jika kita mengasihi dengan kasih Tuhan tak ada kata "terlambat"; kita akan menemukan banyak solusi. Niscaya dengan kasih Tuhan kita akan terhindar dari perpecahan yang tak pernah Tuhan kehendaki.

Senin, 25 Juni 2012

Inkulturasi Budaya Popular untuk Ekaristi Kaum Muda


Ekaristi Kaum Muda (EKM) seringkali dicirikan dengan beberapa bentuk yang mengundang tanda tanya, seperti: musik pop ‘pasaran’ tanpa ayat suci, modern dance dengan hentakan band pembawa persembahan, atau potongan video klip iklan sebagai pembuka Liturgi Sabda. Ada banyak pihak yang prihatin dengan bentuk EKM macam ini karena simbol budaya popular yang terlihat hura-hura ini dianggap menodai kesucian Ekaristi dan tak membawa umat muda dalam persatuan dengan Allah. Benarkah demikian?
 Konsili Vatikan II menyerukan agar Gereja selalu berusaha menanggapi tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dengan cahaya Injil agar dapat menjawab pertanyaan orang zaman sekarang tentang makna hidupnya (Gaudium et Spes [GS], 4). Seruan ini menjadi kesempatan agar kita maju, berdialog, menanggapi dan menafsirkan juga budaya popular – salah satu tanda zaman yang paling diperhatikan Bapa Suci saat bertemu dengan orang muda – dalam cahaya Injil.
Bentuk budaya ini sendiri sangat dekat dan telah menjadi bagian keseharian kita. Ia ditemukan dalam ‘inskripsi’ sosial yang dikonsumsi massal, seperti: novel, kartun, film, iklan, tari modern, fashion, dan aneka lagu yang saat ini digandrungi masyarakat. Budaya popular memang lahir dari produksi massal berlatar kemajuan teknologi dan kepentingan industri demi konsumsi massif. Karena sifatnya yang ‘populis’ ini, budaya popular sering dikategorikan budaya ‘kelas dua’ atau budaya ‘murahan dari pinggir jalan’. Anggapan ini juga sering datang dari kurangnya pengetahuan tentang budaya popular sebagai locus theologicus baru.
Teologi budaya Paul Tillich atau Kelton Cobb, misalnya, dapat menjadi pegangan untuk melihat substansi religius yang tersembunyi di balik lirik lagu pop, film, iklan atau bahkan fashion dan kata-kata gaul zaman ini. Lagu ‘Mr. Simple’ dari Super Junior, boyband Korea Selatan itu, misalnya mengandung pesan perlawanan terhadap struktur hidup orang muda yang sering menjadi rumit dan penuh tuntutan. Ini dapat menjadi pintu masuk mengolah tema liturgi tentang Allah yang mengasihi kita apa adanya. Penampilan nyeleneh Lady Gaga juga membawa isu ketubuhan; sebuah isu yang dapat direfleksikan dalam tema keselamatan jiwa dan badan.
 EKM yang mengadaptasi simbol budaya popular janganlah dihindari atau buru-buru dicap negatif karena dianggap tak sesuai dengan panduan liturgi yang digariskan Gereja. Alih-alih langsung melarang, lebih baik kita mengusahakan inkulturasi liturgi dengan budaya popular (atau ‘budaya kota’ dan ‘budaya industri’ seperti disebut dalam De Liturgia Romana et Inculturatione [LRI] no. 30) agar pesan Injil teresapkan mendalam sesuai dunia orang muda dan karenanya umat mampu berpartisipasi penuh, sadar dan aktif (Sacrosanctum Concillium [SC], 14).
Usaha inkulturasi dengan simbol budaya popular ini mestinya didukung dengan semangat kritis, kreatif dan setia. Serupa dengan proses inkulturasi dengan budaya-tradisional, unsur yang tak sesuai dengan Injil juga harus disaring atau ditolak. Apalagi budaya popular sarat dengan kepentingan ekonomis dan ideologis kelompok tertentu. Keaslian dan hormat pada ibadat Ekaristi perlu dijaga sehingga apa yang didoakan (lex orandi) sesuai dengan apa yang diimani (lex credendi) (LRI, 27).
Simbol budaya popular yang ditawarkan untuk mengungkapkan Yang Kudus juga harus mudah ditangkap sesuai daya tangkap umat muda serta jangan sampai meniadakan bagian-bagian Ritus Romawi (bdk. LRI, 35-37). Proses adaptasi ini tentu membutuhkan tenaga ekstra gembala dan umat muda sendiri untuk belajar lagi lebih dalam tentang budaya popular, studi media, prinsip hermenutika, psikologi perkembangan, kajian teologi kebudayaan dan liturgi serta dialog tanpa henti dengan kelompok orang muda sendiri. Keberanian para Gembala untuk mendampingi dan berjumpa secara kritis, kreatif-setia budaya popular dalam EKM akan melampaui diskusi klasik profanizing the sacred atau sacralizing the profane.
EKM dengan atribut popularnya itu tidak perlu serta-merta dipandang menginjak-injak kekudusan karena yang Ilahi juga dihadirkan dalam tanda-tanda manusiawi (SC, 59). ‘Yang Kudus’ dan ‘yang profan’ tetaplah berbeda, namun tidak menjadi alasan untuk membuat ‘yang profan’ kehilangan kesempatan untuk membuat ‘Yang Kudus’ makin kelihatan, makin terasakan, makin dihidupi secara nyata oleh orang muda kita!
dimuat di HIDUP edisi 10 Juni 2012

Selasa, 22 Mei 2012

Pentingnya Kerjasama

Jika dalam sebuah organisasi tidak ada kerjasama, biasanya organisasi tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Mengapa? Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita baca uraian singkat berikut.
Sebelumnya sudah diketahui pada posting sebelumnya bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang yang bekerja bersama dalam suatu divisi untuk mencapai tujuan bersama (Schermerhorn, dkk., 1997:9). Dalam definisi tersebut dikehatui adanya kerja sama untuk mencapai tujuan. Baiklah, sekarang saya akan mencoba menjelaskan tentang apa itu kerjasama.
Kerjasama adalah proses untuk melakukan sesuatu yang mencakup beberapa hal serta unsur-unsur tertentu antara lain:
1. Adanya tujuan yang sudah ditetapkan bersama atau tujuan sesuai dengan peraturan.
2. Adanya pengaturan/pembagian tugas yang jelas.
3. Dalam bekerja saling menolong antara satu fihak dengan fihak yang lain.
4. Dapat saling memasukkan manfaat.
5. Adanya koordinasi yang baik.


Lalu apakah kalian pernah berpikir tentang apa bedanya “kerjasama” dengan “sama-sama kerja”? Jika dilihat sepintas memang mirip, namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda meskipun kedua hal tersebut dilakukan secara bersama-sama. Bukan kerjasama tetapi akan disebut “sama-sama kerja”, jika:
1. Masing-masing pihak mempunyai tujuan sendiri-sendiri.
2. Tanpa adanya pengaturan/pembagian tugas.
3. Tidak saling memperhatikan dan menolong pihak lain.
4. Manfaat tidak dirasakan oleh semua anggota.


Dari paparan definisi tentang kerjasama, dapat maka terdapat beberapa dimensi penting yang terkandung dalam kerjasama tersebut, yaitu:
Anggota kelompok
Peran
Tugas
Tujuan
Dalam sebuah organisasi, terdapat level of teamwork mengacu pada komponen dimensi kerjasama seperti disebutkan diatas, yaitu:
Kerjasama pimpinan puncak, terdiri dari tiap-tiap pimpinan sub-organisasi (Kepala Bagian, Manajer)
Project Team, terdiri anggota kelompok usaha dari berbagai tingkatan dan fungsi untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu.
Kelompok kerja, terdiri dari anggota kelompok unit usaha yang menjalankan unit-unit kerja operasional rutin.
Dengan adanya kerjasama yang baik antara pihak satu dengan pihak yang lain, tugas-tugas dari masing-masing pengurus akan menjadi lebih ringan dan cepat selesai. Sehingga tujuan pun akan tercapai.

Minggu, 20 Mei 2012

Inilah Kegiatan-kegiatan Kami Muda Mudi Katedral



Membuat Kandang Natal





Berlibur Ke Toraja


Berlibur Ke Toraja 


Berlibur Ke Toraja 


Berlibur Ke Toraja 


Berlibur Ke Toraja 


Karoke Bareng-bareng


Seminar Krisna Murti


Drama Jumat Agung


Drama Jumat Agung 


Reuni 


Reuni  


Inilah Kami


Inilah Kami 


Persiapan Ke Paraloe


In Paraloe


In Paraloe 


In Paraloe 


Panitia Bunda MARIA Di Angkat Ke surga


In Toraja


In Toraja 


In Toraja 


In Toraja 


In Paraloe


In Paraloe 


In Malino


In Malino 


In Malino 


In Malino 


Di Depan Markas


Panitia MARIA Di Angkat Ke Surga


Party In Time


Caroling Paroki