Translate

Kamis, 20 Juni 2013

Ibu, Sobeklah Aku!

ibuSenja itu, Rina seorang diri. Duduk di bawah pepohonan dan keningnya berkerut, batinnya berlari serta pikirannya berteriak. Dia melihat sekumpulan awan yang sedang berterbangan ke sana ke mari, dalam menyambut sang ratu-nya untuk kembali ke peraduannya. 

Tampak dedaunan pepohonan sekali-kali menyapanya, dengan cara berguguran dari ranting. Perlahan pula, dedaunan itu berguguran ibarat ditembak musuh dari seberang. Suasana udara di senja itu pun, sangat melankolis. Walau pun keningnya berkerut, Rina tidak terbawa emosi. Batinnya terasa dingin. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. 

Dimana, bila Rina sedang dihadapi suatu problem, batinnya meraung-raung dan siap menerkam apa saja bila dilihat dan didengarnya. Bahkan tubuhnya sendiri, pernah disobeki dengan tangannya. Namun, tubuhnya tak sampai berluka.

Pernah suatu ketika, ketika ibunya diomelin tetangga sebelahan rumahnya yang juga masih mempunyai tali pusar dalam rumpun keluarga besarnya, Rina yang sedang berbaring di tikar, daun telinganya menangkap beribu-ribu kalimat yang ditujukan kepada ibunya. Rina beranjak bangun dari pembaringannya dan menuju ke arah ibunya untuk memastikan dari dekat, apa yang sedang dipertontonkan tetangganya itu terhadap ibunya. 

Rina berusaha menahan kadar amarah, yang perlahan menggigit ubun-ubunnya. Tarikan napasnya tidak beraturan lagi, bak orang gila yang diganggu ke-gila-annya oleh orang normal. Denyut nadi bersama sekompi adrenalinnya beradu kekuatan, di dalam tubuhnya yang siap mematangkan hasil nanakan di tunggu perapian.

“Ibu, manusia siapakah yang mencerca dengan beragam anak kalimat yang sangat mengganggu tidurku?? Katakan!! Entah setan atau Tuhan sekali pun, aku ingin menghadapinya. Kita berasal dari debu tanah, dan tentunya akan kembali pula dalam bentuk tanah. Tanah itu adil. 

Tanah itu selalu siap dan kapan serta dimana saja, ketika kita dipanggil kembali ke “kandang”. Aku tidak tega ibu diteriaki tetangga. Aku tidak tega melihat ubun-ubunku terbakar habis, hanya karena amarahnya “setan-setan” jalanan. Dan aku pun tidak akan membiarkan ibu hidup dan berkembang, dihimpit keserakahan “setan-setan” tersebut. Ibu, manusia siapakah yang mencerca dengan beragam anak sungai yang mulai mengaliri amarahku?? Katakan!!!

“Rina, anak Ibu yang baik hati. Tenangkan dirimu. Kuasailah amarahmu. Amarah adalah sebuah bentuk kediktatoran dalam membunuh diri dan masa depan. Amarah juga merupakan “pelacur-pelacur” kecil, yang saban hari mengganggu tangga pemikiran kita. 

Dewasa dan bijaklah dalam mendengar, melihat serta menyelesaikan setiap problem. Problem membuat kita semakin kaya akan cara-cara dalam menuntaskan problem itu sendiri. Ingat lho, setiap kita mempunyai problem yang telah terisi ke dalam perabotan rumah tangga. Dan tergantung kita-nya saja dalam mempergunakan perabotan tersebut. Masih dikuasai amarah??

“Masih!!” “Bersedia keluar dan berdamai dengan amarahmu itu?? Bersedia berdamai dengan dirimu, lingkungan serta orang-orang yang telah mencerca ibu dengan tidak sopan?? Bersediakah untuk kesemuanya itu??”

“Ibu, maafkan aku. Aku bukanlah malaikat. Aku juga bukanlah Tuhan Allah. Aku hanyalah sebagian dari sisa-sisa “sampah”, yang selalu kemasukan bau busuknya tetangga-tetangga itu. Aku bukan pohon, bila ditebas rantingnya hanya diam dan iklhas diperlakukan seperti itu. 

Aku bukan putik bunga, bila dihisap madunya oleh sekawanan lebah dan bisanya menangis. Aku bukan kertas, bila dipakai buat menulis secarik kata-kata cinta, hanya tersenyum sesaat. 

Aku bukan sapu tangan, bila dipakai mengeringkan lelehan keringat dan cuman mengiyakan saja. Namun dari itu, aku hanyalah semak belukar yang tumbuh, bernapas dan memakan. 

Bahkan, aku pun selalu dimakan ternak-ternak bila dilanda kelaparan sampai tidak meninggalkan sejejak pun, untuk dibuntuti ke manakah kaki-kakinya menorehkan luka yang belum disembuhkan dan telah bernanah bertahun-tahun. 

Sanggupkah ibu menyembuhkan kesemuanya itu, dengan sebotol betadine dan sepotong guntingan kain kasa?? Sanggupkah ibu mengembalikan ceceran-ceceran darah perawanku, yang pernah tertumpah di tanah ini karena dinaiki lelaki yang tidak bertanggung jawab itu?? 

Siapakah yang menjual perawanku kepada lelaki itu, demi melunasi hutang piutang?? Ibu, dekati dan sobeklah aku!”

(Felixianus Ali— Cerpenis, Penyair, Freelance dan Penulis buku 1.700 Kata-Kata Bijak dari A sampai Z. Asal Atambua, NTT. Saat ini, tinggal dan bekerja di Jakarta. Sabtu, 2 Maret 2013)

“LAYANI MEREKA, JANGAN LAYANI SAYA”

“Layani mereka, jangan layani saya!” Dari banyak kalimat yang muncul di film “Soegija”, hanya kalimat tersebut yang menusuk hati saya.

 Kalimat ini muncul dalam adegan ketika masyarakat berbondong-bondong mengungsi di Gereja Mgr. Soegija. 

Di tengah banyaknya orang dan suasana kacau, para relawan yang kebingungan mendatangi Mgr. untuk menerima perintah apa yang harus dilakukan. 

Setelah memberikan arah dan hal-hal yang harus segera lakukan, Mgr. langsung menggerakan para relawan agar sigap melayani para pengungsi dan bukan melayani beliau. Bagi saya kata-kata ini cukup berkesan. 

Mgr. Soegija adalah uskup pribumi pertama Indonesia dan memang sudah sepantasnya harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam situasi negara yang sedang carut marut karena perang, beliau sebetulnya bisa dan mampu untuk menyelamatkan dirinya sendiri dengan menggunakan segala privilese yang ia dapat karena jabatan uskupnya. 

Namun, beliau justru bersikap sebaliknya. Beliau meninggalkan kenyamanannya, turun dan menyapa masyarakat, rela menyerahkan gerejanya demi menampung para pengungsi. 
Di samping itu seamua, ia adalah seorang pemimpin yang tahu peran dan tugasnya sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi. Ia hadir ketika umat membutuhkan seorang pemberi arah. 

Beliau mengambil keputusan ketika para tetua masyarakat kebingungan. Beliau sigap dengan mengadakan diplomasi politik dengan pihak luar negeri, khususnya Vatikan. Kata-kata yang dilayangkan Soegija “Layani mereka, jangan layani saya!” dapat menjadi kritik bagi siapapun yang menjadi pemimpin di negeri ini. 

Adalah hal kodrati jika manusia berusaha mencari aman untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kebablasan sikap seperti itu akan mematikan suara hati dan membangun tembok bagi diri sendiri. Lewat kata-kata ini, Soegija mau menekankan bahwa pemimpin adalah pelayan. 

Dalam Injil Matius 23:11, Yesus pun bersabda, “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”. ‘Besar’ di sini bisa dalam bentuk apapun. Saya juga meyakini bahwa jika kita diberi banyak, maka kita dituntut banyak pula. Soegija adalah sosok yang dengan sempurna melaksanakan perintah Yesus itu. 

Dan ini hendaknya berlaku pula bagi para pemimpin negeri, para ulama, para imam, rektor, dekan, bidel umum, ketua seksi dan para pemimpin dalam lingkup apapun. 

Pemimpin tidak cukup hanya bersikap diktator, hanya menunggu laporan kerja dari orang-orang bawahannya. Tetapi bagaimana kehadirannya dapat memberi harapan ketika situasi terasa tanpa harapan, mengambil keputusan dalam situasi kebingungan. Film ini menggambarkan bahwa Soegija mampu melakukan itu semua dengan sangat baik.

“MENURUT KAMU SIAPAKAH AKU INI?”

Renungan Hari Minggu Biasa ke XII
Inspirasi Bacaan:
Za. 12:10-11, 13:1; 
Gal. 3:26-29; Luk. 9:18-24

Waktu membaca bacaan ini, khususnya bacaan Injil, saya teringat akan satu pengalaman yang menyentuh saya secara pribadi. Pengalaman itu adalah sebagai berikut. Ketika saya ditahbiskan menjadi seorang imam, saya membuat misa pertama di paroki di mana saya dulu waktu kecil menghabiskan banyak waktu bersama teman-teman sebagai putera altar. Misa pertama itu menjadi kesempatan bagi saya untuk bereuni dengan umat paroki yang sudah saya tinggalkan 20 tahun yang lalu. Ketika misa yang dihadiri begitu banyak umat itu selesai saya pimpin, para umat itu menyalami saya satu persatu. Begitu beragam cara mereka mengungkapkan kegembiraan atas tahbisan baru yang telah saya terima, namun saya sangat tersentuh ketika ada salah seorang teman mantan sesama putera altar di waktu kecil memeluk saya sangat erat dan dia menangis. Pada awalnya saya tidak mengerti mengapa dia menangis; ketika saya masih memeluknya dia berbisik di telinga saya, “Romo, yang setia ya…maafkan saya sebab saya tidak lagi seorang Katolik.” Saya sangat terkejut, karena saya mengenal teman saya ini di waktu kecil adalah seorang anak yang sangat rajin bertugas sebagai putera altar, sangat dekat dengan kehidupan Gereja. Bagaimana mungkin dia meninggalkan imannya? Tiba-tiba saya merasa sangat sedih; merasa sangat “kehilangan” dia.

Dalam bacaan ini, para murid ditanya oleh Yesus mengenai “Siapakah Dia?”. Menarik, bahwa Yesus bertanya dua kali kepada para muridnya. Pertanyaan pertama “Kata orang banyak: siapakah Aku ini?” (Luk. 9:18) ada beragam jawaban para murid, ada yang menyebut Yesus sebagai “Yohanes Pembaptis” atau “Elia” atau “salah seorang nabi” (Luk. 9:19). Setelah mendengar jawaban para murid itu, Yesus bertanya lagi untuk kedua kalinya dengan pertanyaan yang sama namun dengan rumusan yang berbeda, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (luk. 9:20). Anda bisa melihat perbedaannya? Yang pertama “menurut kata orang” sedangkan yang kedua “menurut kamu”. “Menurut kata orang” berarti menurut pendapat atau kaca mata orang lain; ada “jarak” antara Yesus dengan para murid yang ditanya; sedangkan pertanyaan “menurut kamu” menunjukkan “kedekatan” antara Yesus dengan para murid; menunjukkan bahwa pertanyaan kedua ini adalah pertanyaan yang sangat bersifat pribadi, bersifat personal. Terhadap pertanyaan ini, Petrus menjawab, “Mesias, dari Allah!” (Luk. 9: 20). “Menurut kamu” menjadi pertanyaan yang juga bisa ditujukan pada kita masing-masing secara pribadi. “Mesias dari Allah” adalah jawaban Petrus. Tapi apa jawaban saya, jawaban anda secara pribadi? Jawaban jujur kita bisa jadi berbeda dengan jawaban Petrus. Jika anda bingung dan tidak bisa menjawab lebih baik anda mengambil waktu mundur selangkah untuk merenungkannya. Siapa Yesus menurut aku? Jawaban anda akan sangat tergantung pada seberapa dekat dan seberapa dalam anda mengenal Yesus. Jawaban anda juga akan menjadi tanda seberapa besar iman dan motivasi yang menggerakkan anda untuk mengikuti-Nya. Sangat banyak buku ditulis tentang Yesus, mengenai siapakah Yesus; namun, jawaban itu bukan di situ. Jawaban sejati adalah apa yang ada di dalam hati kita; sejauh mana kita “mengalami” Yesus dalam hidup kita. Pertanyaan Yesus ini bukanlah pertanyaan dengan jawaban rumusan-rumusan menurut “kata orang” tetapi menurut pengenalan pribadiku pada-Nya.

Yesus bukan tanpa maksud ketika Dia bertanya kepada para murid, “Menurut kamu, Siapakah Aku ini?” Dia membutuhkan jawaban tegas dari para murid akan pengenalan mereka terhadap-Nya karena Dia tahu bahwa para murid akan memasuki saat-saat di mana mereka akan goncang karena kematian yang akan Dia alami dan juga barisan penganiayaan serta penderitaan yang akan mereka hadapi (Luk. 9:22-23). Yesus mencari “motivasi’ apa yang mendorong para murid yang mengikuti-Nya. Yesus mencari “apakah ada iman” di hati para murid-Nya pada-Nya; sebab ada tidaknya iman itu, kuat tidaknya iman itu, akan sangat menentukan daya juang para murid untuk menghadapi tantangan yang berat di masa depan.

Saya tidak menghakimi atau menilai teman saya yang meninggalkan imannya sebagai pribadi yang buruk, karena iman selalu merupakan pilihan bebas, tidak pernah bisa dipaksakan. Dengan contoh pengalaman kongkrit saya di atas, saya hanya ingin mengajak anda untuk menyadari diri dan bertanya, “Mengapa aku memilih menjadi pengikut Kristus, sebagai orang Katolik?” Apa yang mendorongku untuk memilih Yesus sebagai penyelamatku? Sehingga “kutahu yang kumau” bukan “kutahu yang suamiku mau, yang istriku mau, yang orang tuaku mau”. Jawaban dari pertanyaan itu haruslah sebuah jawaban yang sangat intim dan pribadi yang muncul dari kedalaman hati kita. Aku tahu mengapa aku mengikuti Yesus dan itulah sebabnya akan kuberikan yang terbaik bagi-Nya. Jawaban itu adalah bekal utama untuk menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan untuk meninggalkan-Nya.
Jakarta/26/3/2012

Selasa, 18 Juni 2013

Foto2 Krisma 2013 by: MMK

inilah beberapa foto yang di ambil pada saat penerimaan Sakramen Krisma di Katedral pada tanggal 19 Mei 2013 yang lalu....







bagi yang ingin mengambil fotonya. silakan coment di Facebook dan Twitter kami. atau langsung datang ada di markas kami. jl. kajaolalido no 14 Makassar. Gereja Katedral Makassar..

Pacaran yang sehat, jalan menuju perkawinan bahagia

pacaranKetika itu saya masih duduk di bangku kuliah. Satu hari di malam Minggu, seorang teman laki-laki berkunjung ke tempat kos saya. Ia teman baik sejak SMA, tidak pernah ada hubungan istimewa di antara kami kecuali berteman baik. “Kok malam Minggu ke sini, apa kamu nggak apel?” tanya saya dalam nada bercanda. Ia menyahut dengan santai, “Supaya teman-teman se-kos tidak mengira aku jomblo. Walau memang kenyataannya begitu, tapi kan malu kalau ketahuan belum punya pacar. Jadi jangan diam di rumah kos kalau malam Minggu tiba, ke rumah siapa pun jadi deh, biar nggak kelihatan jomblo.” Walaupun merasa maklum, sebenarnya saya heran mendengar jawabannya itu.

Dua puluh tahun kemudian, dan pastinya dua puluh tahun sebelum hari itu, rasanya motivasi sebagian anak muda dalam berpacaran belum banyak berubah. Ketika baru-baru ini saya berbincang dengan keponakan saya yang sudah SMA, ia bercerita tentang motivasi teman-temannya yang sudah mempunyai pacar. Pacaran meningkatkan status sosial, katanya tampak lebih keren dan gaul bila sudah punya pacar. Walaupun kebutuhan akan pengakuan dan status pergaulan adalah bagian dari gejolak masa remaja, tetaplah sangat penting bagi kaum muda untuk mempunyai alasan dan sikap yang tepat dalam berpacaran.

Kaum muda Katolik adalah anak-anak Tuhan yang dipanggil untuk menjadi kudus dalam segala hal. Sebagaimana dinyatakanNya dalam 1 Petrus 1:14-16, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” . Usia muda tidak harus tidak matang dalam iman, justru sedari muda kita belajar apa yang benar dan baik yang akan mengarahkan kita menjadi manusia dewasa yang seutuhnya, dalam kepenuhan kasih dan iman kepada Tuhan. Kita baca hal itu dalam 2 Tim 2:22, “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.”

Tuhan selalu tahu apa yang terbaik bagi kita dalam semua aspek hidup kita, termasuk dalam hal pergaulan. Di dalam Kitab Suci, Dia mengajarkan sikap-sikap yang baik dan terpuji menyangkut relasi kita dengan lawan jenis. Tuhan menghendaki demikian, sebenarnya pertama-tama demi kebahagiaan kita, karena Ia mengenal kita dengan sempurna sejak semula, dan karena Ia sangat mengasihi kita.

Apakah pacaran itu?

Pacaran itu indah, jatuh cinta itu selangit, berjuta rasanya, kata syair lagu. Ketika kita masih duduk di awal bangku sekolah dasar, bergandengan tangan dengan teman yang berlainan jenis tidak menimbulkan perasaan apa-apa kecuali rasa gembira sebagai teman bermain. Namun menginjak usia pra-remaja, di mana perkembangan fungsi tubuh dan hormonal mulai menjadi dominan, kebersamaan dengan teman lawan jenis menumbuhkan perasaan suka yang berbeda. Ketika dua insan berlainan jenis selalu ingin menghabiskan waktu bersama, merasa aman dan nyaman satu sama lain, berkegiatan bersama, baik lewat pertemuan secara fisik maupun lewat berbagai sarana alat komunikasi, dengan diikuti ketertarikan secara seksual dan romantisme, maka relasi di antara keduanya disebut berpacaran. Tuhan memang menciptakan manusia untuk saling mengasihi. Dalam pacaran, manusia mengenal bentuk saling mengasihi itu secara khusus dalam perasaan cinta kepada lawan jenis, dalam artian, ingin memberi, melindungi, dan mengasihi lawan jenis yang dicintai. Relasi ini bersifat eksklusif, artinya hanya melibatkan perasaan kedua orang yang terlibat di dalamnya. Dalam hubungan pacaran yang baik, harus ada unsur-unsur yang menjaga kelanggengannya dan memastikan tujuannya tercapai, di antaranya secara umum adalah kesetiaan, kejujuran, saling menghormati dan menghargai, tanggungjawab, dan komitmen.

Mengapa kita pacaran

Jika hanya mengikuti dorongan alami dari fungsi-fungsi hormonal tubuh, bisa-bisa manusia berpacaran dengan siapa saja yang ia suka dan kapan pun ia mau. Tetapi tentu tidak dapat demikian, karena manusia adalah mahluk berakal budi, ciptaan tertinggi yang dikaruniai hikmat untuk mengikuti norma-norma kebaikan dari hati nuraninya. Manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Penciptanya, sehingga ia disebut sebagai citra Allah. Ia juga dipanggil untuk berpasangan dan beranak cucu melalui sebuah relasi yang disebut perkawinan kudus yang tak terceraikan.

Karena manusia mempunyai martabat paling tinggi sedemikian, dan dipercaya oleh Tuhan untuk mengelola alam ciptaan dengan akal budinya, maka setiap tindak tanduknya harus didasari oleh tujuan yang mulia dan alasan yang menjunjung tinggi martabat itu. Tidak terkecuali dalam berpacaran, yang merupakan langkah awal sebelum jenjang perkawinan. Motivasi yang benar dalam berpacaran mengarahkan muda mudi untuk berpacaran dengan sehat dan mencapai tujuannya yang benar dalam memuliakan martabatnya sebagai manusia sesuai dengan tugas dan panggilan Tuhan baginya. Sebaliknya, berpacaran sekedar untuk status, demi ego pribadi, demi memuaskan dorongan seksual semata , atau untuk sekedar bersenang-senang saja, justru berpotensi menimbulkan kesedihan, misalnya luka dalam hati, perbuatan dosa dan rasa bersalah, rusaknya hubungan baik, bahkan kehamilan di luar nikah, atau pernikahan dini yang terpaksa dijalani karena kehamilan di luar pernikahan itu dan bukan didasari oleh cinta yang sejati dengan pertimbangan kecocokan yang matang. Ujungnya adalah masalah, dan bukannya kebahagiaan. Bisa-bisa pacaran tidak lagi berjuta rasanya, tetapi berjuta masalahnya.

Pacaran yang sehat didasari oleh kasih yang tulus dan kebutuhan untuk menemukan pasangan hidup yang tepat, di mana kedua insan berusaha saling mengenal pribadi satu sama lain, mengembangkan cinta kasih sejati, untuk kemudian menikah membentuk keluarga yang dikuduskan dalam sakramen Gereja-Nya, Sakramen Perkawinan. Di dalamnya, Tuhan menghendaki pria dan wanita berketurunan dan membentuk keluarga yang saling mencintai, menghormati, dan melayani dalam kasih dan kesetiaan yang tulus hingga akhir hayat. Semangat kasih dan hormat kepada Tuhan mendasari semua bentuk ungkapan kasih di dalamnya. Kasih yang Tuhan maksudkan adalah kasih yang dituliskan St Paulus dalam 1 Kor 13: 4-7, yaitu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, dan masih banyak lagi.

Keluarga adalah pilar paling dasar yang menopang sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Maka persiapan membentuk keluarga yang diawali dengan proses pacaran mempunyai makna dan tujuan yang sangat penting dan mulia, dan oleh karenanya harus disikapi dan dijalani dengan bijaksana, dengan senantiasa menerapkan apa yang baik yang dikehendaki Tuhan di dalam sebuah relasi berpacaran antara pria dan wanita. Itulah sebabnya, menjalani masa pacaran yang sehat dan sesuai dengan ajaran kasih Tuhan juga akan memberikan bekal berharga bagi kehidupan perkawinan yang bahagia dan langgeng.

Pacaran yang baik yang bagaimana?

Karena tujuannya adalah menemukan pasangan hidup yang tepat sebelum memasuki jenjang perkawinan dan membentuk keluarga yang bahagia, pacaran yang sehat melibatkan sebuah proses. Proses untuk saling mengenal dan mengerti satu sama lain, mengembangkan sikap saling menerima kelemahan dan kelebihan satu sama lain, latihan mengendalikan diri dan bertanggung jawab, latihan untuk berbagi, untuk mendahulukan kepentingan pihak lain dalam semangat saling melayani, latihan menikmati kebersamaan dan berbagi sukacita bersama. Dan tak kalah penting dari semuanya, latihan menjaga kemurnian. Karena “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus. “(1 Tes 4 :7)

Proses sedemikian itu memerlukan kematangan dan pada gilirannya juga akan mengembangkan kematangan dari dua insan yang berpacaran. Menjadi makin matang, bertangunggjawab, dan lebih tidak mementingkan diri sendiri adalah beberapa indikator yang baik dari sebuah pacaran yang sehat. Aspek-aspek yang dipelajari dalam sebuah proses saling mengenal itu misalnya seperti di bawah ini:

1. Belajar untuk mencintai
Dalam berpacaran yang baik, cinta yang menerima (eros) dikembangkan sedikit demi sedikit menjadi cinta yang memberi, dan tidak bersyarat (agape).[1] Cinta itu memberi. Sejak kecil, kita telah menerima cinta dan mengalami dicintai oleh orangtua dan saudara-saudara dalam keluarga. Semakin kita tumbuh besar, kita pun merespon cinta yang kita terima itu dengan tindakan dan perasaan mencintai yang sama. Semua itu sebenarnya adalah cinta Tuhan yang membara kepada kita. Namun cinta yang diajarkanNya adalah memberi tanpa syarat, yaitu dengan tulus demi kebaikan dan kepentingan pihak yang dicintai. Cinta yang sedemikian ini tidak diberikan hanya kalau pihak yang diberi melakukan hal-hal yang sesuai dengan yang kita mau, tetapi memberi karena cinta itu sendiri menggerakkan kita memberi karena mengasihi, menerima dan menghormati pacar kita apa adanya.

2. Belajar membedakan hak dan kewajiban
Karena sudah menjadi kekasih dan merasa saling memiliki, bukan berarti kita dapat berbuat apa saja dengan pacar kita dan menuntut pacar kita melakukan apa pun yang kita inginkan. Kadang-kadang atas nama cinta, kita terjebak dalam relasi yang saling menuntut dan bukannya saling memberi. Pemuda dan pemudi wajib untuk saling melindungi, selain secara fisik dan mental, juga terutama dalam hal menjaga kemurnian satu sama lain. Jika pemuda meminta pacarnya melakukan hubungan badan, itu bukan dalam rangka menuntut haknya, justru melanggar kewajibannya untuk menjaga kemurnian pacarnya. Jika pemudi memanfaatkan pacarnya untuk kesenangannya sendiri misalnya minta diantar ke manapun tanpa ingat waktu dan kesibukan sang pacar, minta dibelikan makanan atau benda yang mahal, maka semua itu bukan haknya untuk dipenuhi. Hak yang sehat untuk dipenuhi misalnya adalah hak untuk berdiskusi mengenai rencana masa depan (ingatlah bahwa perkawinan Katolik adalah tak terceraikan, perkawinan adalah untuk selamanya, sehingga sangat penting selama masa-masa belajar berkomitmen di masa pacaran, sepasang kekasih mengeksplor seluas-luasnya ketrampilan untuk saling memahami dan menerima satu sama lain, saling mengungkapkan harapan dan kebutuhan, di dalam konteks perencanaan masa depan berdua), kemudian hak untuk tetap saling mempunyai kebebasan dan waktu-waktu sendiri bersama keluarga atau teman baik, hak untuk tetap menjadi diri sendiri, hak untuk tetap mempunyai hobi masing-masing, dan hak untuk mempunyai waktu khusus bagi Tuhan. Hal semacam ini menjadikan pacaran mendewasakan kita, mari merenungkan lebih lanjut tentang hal ini, dalam 2 Pet 1 : 5-7, “Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.”

3. Belajar menjadi realistis
Walaupun sedang dalam suasana asmara dan romantisme, pasangan yang berpacaran tetap tidak boleh melupakan realitas kehidupan, yang tidak selalu segalanya manis, romantis dan berbunga-bunga setiap waktu. Maka waktu-waktu berdua hendaknya jangan hanya dihabiskan dengan kegiatan yang sifatnya hanya bersenang-senang seperti rekreasi, makan di restoran, nonton bioskop, berjalan-jalan di pertokoan, atau berbelanja berdua saja. Sesekali luangkan waktu mengunjungi saudara atau teman yang sedang mengalami kesusahan atau sakit, memberikan perhatian kepada orang-orang yang kesepian atau sudah lanjut usia, dan beribadah bersama. Maka sangatlah baik jika pasangan adalah pemuda pemudi yang seiman dalam Kristus, karena kegiatan merayakan Misa berdua dan melakukan pelayanan kasih bersama teman-teman OMK menjadi lebih dimungkinkan.

Apa yang dikehendaki Tuhan dalam pacaran yang sehat

Hal kemurnian baik dalam kata-kata, pikiran, dan terutama tindakan, adalah hal yang sangat penting dalam berpacaran. Kurangnya rasa hormat, kasih dan takut kepada Tuhan serta kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab terhadap masa depan berdua rentan membawa muda mudi dalam dosa percabulan karena nafsu seksual yang tidak dikendalikan. Dalam 1 Tes 4 :3 kita membaca, “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan”. Setiap relasi dan tindakan seksual yang dilakukan di luar hubungan perkawinan yang sah, adalah tindakan percabulan.

Dunia anak muda tidak terpisahkan dengan dunia cinta dan cerita romantisme masa muda, walau kisah cinta akan selalu dinikmati oleh semua kalangan dan usia. Percintaan dua anak manusia tidak habis-habisnya menjadi inspirasi dalam dunia seni, sastra, musik, hingga film. Sayangnya, tidak banyak film dan bacaan yang beredar di kalangan remaja, yang memberikan contoh yang sejalan dengan semangat kasih yang murni dalam berpacaran, sebagaimana dikehendaki Tuhan. Nilai-nilai duniawi yang laku untuk dijual memang nilai yang mengumbar kesenangan dan hawa nafsu, kepuasan diri dan kegembiraan sesaat. Jika kaum muda Katolik tidak dibekali dengan pemahaman akan nilai-nilai luhur dalam hubungan kasih dengan lawan jenis, maka kekosongan itu segera diisi oleh membanjirnya tawaran nilai dunia hiburan yang dekat dengan keseharian anak muda. Perasaan mengasihi yang tulus dan bertanggungjawab disempitkan dalam sekedar pernyataan seksual sebagai bentuk ungkapan cinta. Rambu-rambu yang penting untuk diajarkan di dalam berpacaran menjadi asing bagi kebanyakan anak muda. Berciuman, saling meraba, hingga akhirnya melakukan hubungan selayaknya suami istri menjadi kecenderungan yang mengaburkan nilai berpacaran sejati yang seharusnya dikembangkan. Alih-alih saling mengenal, belajar bertanggungjawab, belajar memberikan komitmen dan kesetiaan, belajar saling berkorban, dan berlatih mengendalikan diri, malahan banyak remaja justru jatuh dalam dosa percabulan. Padahal rentetan dosa percabulan itu mengakibatkan kerumitan dan penderitaan, misalnya tersiksa oleh perasaan bersalah, timbulnya sifat posesif dan egoisme, muncul perilaku kecanduan seks, terjadinya kehamilan di luar perkawinan, timbulnya penyakit kelamin dan penyakit alat reproduksi yang bisa berakibat fatal, hingga aborsi. Di sini kita melihat dengan jelas salah satu alasan kasih dan keselamatan di balik mengapa Tuhan memberikan ajaran, perintah, dan larangan di dalam relasi kasih antara dua anak manusia dalam berpacaran, yaitu dalam 1 Kor 6 :15, 18, “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.”

Menurut survey yang dilakukan Survei Komisi Perlindungan Anak pada 2010 terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia, ditemukan 93 persen remaja pernah berciuman, 62,7 persen pernah berhubungan badan, dan 21 persen remaja telah melakukan aborsi.[2] Kenyataan ini sangat memprihatinkan. Pihak orangtua, gereja, dan sekolah adalah pihak-pihak yang selayaknya setia memberikan pendidikan seks yang baik kepada orang muda secara rutin dan berkesinambungan. Kebutuhan ini mendesak dan memerlukan tindak lanjut yang konkrit. Tuhan meminta dengan jelas hal ini dalam Ams 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Pasangan yang longgar dalam pengekangan diri terhadap godaan berhubungan seksual di masa pacaran, jika akhirnya berhasil memasuki bahtera rumah tangga, umumnya menjadi lebih rentan terhadap godaan perselingkuhan dan hubungan seksual di luar perkawinan. Bisa dimaklumi bila kaitan itu muncul, mengingat nilai-nilai luhur kemurnian sudah biasa untuk dilanggar selama masa pacaran. Kepercayaan satu sama lain juga bisa sangat berkurang, jika selama masa pacaran sudah biasa berhubungan selayaknya suami istri. Rasa saling percaya yang rendah amat tidak sehat dan tidak membangun di dalam sebuah perkawinan.

Untuk sejauh mungkin menghindari munculnya godaan percabulan yang umumnya sangat kuat membayangi hubungan pacaran muda mudi, kita lakukan kegiatan yang proaktif. Sebaiknya berkegiatan bersama di tempat yang ramai dan banyak teman. Jangan mencari tempat-tempat sepi dan tersembunyi untuk berduaan. Atau hindarilah hanya berdua di rumah dan tempat kos. Tempat yang tersembunyi dan tidak diketahui orang lain adalah tempat yang harus dihindari dalam kebersamaan dengan pacar kita. Melalui Kitab Suci, Tuhan mengingatkan kita supaya kita berhati-hati dengan kegiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ”Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak, tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.” (Yoh 3: 20-21)

Juga sedapat mungkin hindarilah hiburan yang tidak sehat di dalam musik, buku, film, yang menyajikan sensualitas. Jika mungkin, carilah sebanyaknya kegiatan berdua dalam lingkup gereja, atau kegiatan pengembangan diri bersama untuk mempersiapkan masa depan, misalnya mengikuti pelatihan kerja atau kursus pengembangan diri berdua, ke perpustakaan berdua untuk belajar suatu ketrampilan yang bermanfaat, belajar memasak berdua, berkebun berdua, berolahraga bersama, saling mencoba kegiatan yang menjadi hobi satu sama lain, dan kegiatan positif lainnya. Kegiatan yang positif akan memanfaatkan energi masa muda yang berlimpah kepada penyaluran yang sehat. Selama kasih dan iman kita selalu dibentengi dengan doa-doa kepada Tuhan, sering merenungkan Sabda-Nya, dan orientasi kepada masa depan yang penuh di dalam Tuhan, niat kita akan selalu diteguhkanNya. Jika godaan untuk bermesraan secara seksual tetap datang juga, cobalah untuk berdoa berdua, datang kepada Tuhan dengan tulus, mohon kekuatan untuk bertahan dalam niat menjaga kemurnian hingga godaan itu lewat. Doa Rosario adalah doa yang ampuh untuk melawan kekuatan si jahat, bersama Bunda Maria yang selalu mendoakan kita, rahmat Tuhan akan memampukan kita bertahan dalam kemurnian dan sebagaimana rancangan-Nya yang indah dalam mengikuti Dia, damai sejahtera-Nya akan selalu memelihara kita (lih. Filipi 4: 6-7). Semakin baik juga jika kita memperkaya dan menguatkan motivasi kita dengan membaca kisah para kudus dalam menjaga kesucian hidupnya, misalnya kisah hidup St Agnes dan St Maria Gorreti, kita mohon perantaraan doa mereka untuk bertahan dalam semangat kemurnian. Bersama Kristus dan dalam Dia, kita bisa !

Maka berkaitan dengan usaha menjaga kemurnian itu, aspek lain yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam berpacaran adalah menemukan pacar yang seiman. Kitab Suci menyarankan hal ini di dalam 2 Kor 6: 14-15, ”Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? “ Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?

Iman merupakan nilai-nilai dasar yang menopang hidup kita. Perbedaan dalam menghayati nilai-nilai hidup akan sangat menyulitkan pasangan muda mudi menjalani tantangan kehidupan. Karena sebagaimana telah dinyatakan di atas, hidup tidak selalu dan selamanya mudah terus dan manis selalu. Contohnya, dalam menghadapi berbagai godaan seksual yang telah disebutkan di atas, kekuatan niat dan doa dari dua orang yang berpacaran tentu lebih kuat dari niat satu orang saja, dan lebih kuat dari niat bersama tapi dengan pemahaman iman yang berbeda. Dalam berbagai persoalan hidup terutama dalam mengarungi bahtera rumah tangga kelak, iman yang sama membuat tantangan kehidupan bisa diatasi berdua dengan kekuatan yang lebih baik dan terpadu, serta kesamaan dalam memandang nilai-nilai iman dan kehidupan. Sebaliknya, iman yang berbeda, bahkan gereja yang berbeda, berpotensi menimbulkan masalah lain juga, misalnya dalam hal mendidik anak-anak, dalam melakukan penghayatan devosional sehari-hari, sampai relasi dengan keluarga besar. Maka sangat dianjurkan para OMK untuk bijaksana dan proaktif dalam memperluas pergaulan dengan teman-teman seiman dalam Gereja Katolik. Mengikuti aneka kegiatan mudika di gereja, di lingkungan tempat tinggal, maupun di sekolah dan di kampus dapat menjadi sarana yang baik untuk menemukan calon pasangan hidup dari kalangan yang seiman dalam Gereja Katolik. Jangan lupa berdoalah selalu agar Tuhan membimbing kita untuk menemukan pasangan hidup yang tepat dan pada waktu yang tepat, seturut kehendak-Nya.

Sekilas pengajaran iman Katolik mengenai seksualitas manusia oleh Beato Yohanes Paulus II

Dalam lima tahun pertama masa kepausannya, Beato Yohanes Paulus II, yaitu dalam 129 pertemuan audiensi umum setiap hari Rabu dari tahun 1979 hingga tahun 1984, telah mengajarkan kita keindahan rancangan Allah melalui tubuh manusia, rancangan yang agung sedari semula tentang seksualitas manusia, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.[3] Pengajaran itu diberinya judul “Man and Woman He Created Them” (Lelaki dan Perempuan Diciptakannya Mereka), judul yang dikutip dari Kejadian 1:27. Kumpulan pengajaran itu kemudian disatukan dalam sebuah dokumen yang dikenal luas sebagai “Teologi Tubuh” (Theology of the Body).

Tubuh manusia, baik dengan jenis kelamin lelaki maupun perempuan, adalah bagian tak terpisahkan dari keseluruhan pribadi manusia. Melalui tubuh dengan jenis kelamin inilah kita dipanggil untuk menjadi “pemberian/ gift” kepada orang lain, yang secara khusus dinyatakan dalam hubungan suami istri. Maka hubungan seks selalu mempunyai arti yang suci dan luhur, sebab berkaitan dengan maksud Allah menciptakan manusia untuk saling memberikan diri kepada pasangannya sehingga mereka dapat saling mencintai dan melengkapi secara utuh, yang memungkinkan mereka dapat turut mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Saling memberikan diri ini sifatnya menunjang (terbuka bagi) kehidupan. Dan oleh karena kehidupan baru selalu berkaitan dengan tanggungjawab melestarikannya, maka hubungan suami istri tak dapat begitu saja dilakukan oleh pasangan yang tidak/ belum disatukan oleh Tuhan sebagai suami istri. Sebab kesatuan suami dan istri mengambil gambaran dari kesatuan Kristus sendiri dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33), di mana dalam kesatuan inilah kita semua sebagai anggotanya memperoleh kelahiran baru dan kelestarian hidup ilahi.

Jika pasangan memisahkan seks dengan pribadi -yaitu dengan hanya mengutamakan keinginan daging, tanpa melibatkan keinginan untuk memberi dan menerima pasangan satu sama lain sebagai pribadi yang utuh (termasuk jiwa dan tubuh pasangan dengan potensi tubuh untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah), maka artinya pasangan tersebut tidak menghidupi/ mengartikan tubuh/ jenis kelaminnya sebagaimana dimaksudkan Allah sejak awal mula penciptaan, karena dimensi tubuh manusia secara fisik (antropologis) tidak dapat dipisahkan dari dimensi ilahi (teologis) yang dirancang oleh Penciptanya. Inilah kebenaran dari seksualitas manusia yang membawa pada hidup yang berbuah dan damai sejahtera bagi umat manusia. Pengetahuan dan penerapan akan kebenaran selalu bersifat membebaskan dan membahagiakan, sebagaimana Tuhan juga mengatakannya kepada kita, “..dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 8:32)

Indahnya menunggu

Setelah memahami alasan yang tepat dan sehat mengapa kita berpacaran, dan menyadari berbagai latihan tanggungjawab dan kematangan yang sedemikian besar yang diperlukan dalam sebuah hubungan pacaran, maka kita menyadari bahwa kita tidak harus cepat-cepat punya pacar tanpa alasan yang tepat, dan karena pacaran mempunyai dampak yang besar dalam hidup kita, maka pacaran tidak untuk dilakukan dengan main-main. Punyailah prinsip dan berani tampil beda demi kematangan dan kebijaksanaan pribadi serta tanggungjawab kepada Tuhan, orangtua, serta diri kita sendiri.

Menunda untuk berpacaran sampai kita merasa siap untuk bertanggungjawab, tidak mengurangi kebebasan kita, justru memberi kita kebebasan yang lebih penuh di masa muda, sambil kita sendiri menjadi matang secara fisik, mental, dan spiritual. Dan kita justru terhindar dari rasa sakit dan luka hati yang tidak perlu karena hubungan pacar yang terlalu cepat berakhir karena dimulainya dengan dasar yang tidak kokoh. Berikut ini beberapa dasar yang memberikan keindahan menunda :

Masa remaja dan masa dewasa awal adalah masa yang penuh gejolak dan perubahan, baik secara fisik maupun mental. Berilah waktu kepada diri sendiri untuk menjadi lebih tenang dan stabil. Sambil mengenal diri sendiri dengan lebih baik, bergaullah seluas-luasnya dengan teman-teman yang baik. Mengenal diri sendiri dengan baik akan memampukan kita mengenal dan memahami orang lain dengan lebih baik juga.

Masa muda juga adalah masa-masa menuntut ilmu dalam kegiatan studi berbagai jenjang baik formal maupun informal. Kegiatan belajar memerlukan konsentrasi yang tinggi sebagai bagian persiapan masa depan yang baik. Di masa muda kita mulai belajar berdisiplin membagi waktu dan mengelola tugas-tugas dengan baik. Jika ketrampilan ini masih dipelajari, sementara sudah sambil membuat berbagai komitmen dalam berpacaran, maka kesempatan berharga untuk belajar dan mengembangkan diri tidak termanfaatkan dengan optimal.

Sambil menjalin persahabatan dengan banyak orang, termasuk dengan lawan jenis, kita belajar bergaul dengan berbagai karakter sesama manusia. Kelak, jika kita sudah siap secara mental untuk mengikatkan komitmen pada satu orang, kita bisa lebih menghargainya sebagai seorang sahabat yang baik untuk dikasihi dengan tulus, karena pada dasarnya perkawinan adalah juga penyatuan dari dua sahabat baik.

Pergaulan yang sehat mendewasakan kta, melatih kita untuk menyaring dengan bijaksana, pribadi yang sesuai dengan jati diri kita untuk menjadi pasangan hidup kita kelak. Tidak cepat-cepat memutuskan untuk pacaran dengan seseorang memberi kita kesempatan untuk menilai dengan objektif, bagaimana kepribadian teman kita, terutama imannya (apakah ia takut akan Tuhan dan menghormati hukum-hukum-Nya). Untuk mengevaluasi temperamennya dalam mengatasi konflik, tanggungjawabnya dalam tugas sehari-hari, dalam komunikasinya dengan orangtua dan keluarga, apakah ia orang yang dapat dipercaya, apakah ia tekun dan sabar, dan lain-lain. Lalu kira-kira bagaimana semua itu berpadu dengan karakter dan kepribadian kita sendiri. Kalau sudah cepat-cepat memutuskan pacaran, bisa jadi evaluasi kita sudah tidak terlalu objektif lagi.

Dan akhirnya tentang menunggu, kita telah mengerti sekarang, adalah sangat penting untuk menunda melakukan relasi seksual dengan pacar kita. Karena relasi seksual seperti berciuman, saling meraba, dan apalagi hubungan selayaknya suami istri, adalah hadiah Tuhan bagi manusia untuk dibuka pada saat yang tepat, yaitu setelah menjadi pasangan suami isteri yang sah yang dikuduskan oleh Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik. Dengan mengingat selalu kasih Tuhan yang menginginkan segala yang terbaik dalam hidup kita, kita akan disibukkan oleh kegiatan saling mengenal secara sehat dan berkegiatan bersama-sama untuk memuliakan nama Tuhan yang begitu mengasihi kita. Jangan berikan waktu untuk yang lain, dan mengurbankan masa muda kita dan masa depan kita hanya untuk mencoba-coba kenikmatan sesaat yang melepaskan kita dari cinta kasih sejati yaitu cinta kasih Allah. Adalah indah untuk menunggu, dan menunda membuka hadiah Tuhan itu hingga hari pernikahan kita tiba. Mengikuti ajaran Tuhan, membuat pacaran menjadi semakin manis, sampai ke pernikahan kelak. Kata orang kesabaran itu pahit, tetapi buahnya manis. Dan pacaran makin terasa selangit, karena kita bahkan juga memperoleh hadiah pengendalian diri, yang menguatkan perjalanan hidup kita selanjutnya bersama pasangan yang kita cintai. Renungkanlah anjuran St Paulus yang membekali kita untuk membuka hadiah terindah Tuhan itu pada waktunya serta semangat dari kitab Mazmur, untuk menguatkan kita selalu:

Rm 12 : 1,2, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Ef 5 :8, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang”

Mazmur 119: 9,11, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau

Sumber: Katolik.org

Senin, 17 Juni 2013

Melatih Diri Menata Hati

“Ketidakberdayaan adalah penjajahan diri yang nyata terhadap diri sendiri. Ketidakberdayaan menjadikan seseorang tak bisa berbuat banyak. 

Bagaimana mau membantu orang lain, dengan diri sendiri saja masih kesulitan. Diri ini harus berdaya supaya bisa berbuat banyak bagi diri sendiri dan orang lain.”

“Ketergantungan pada orang lain itu menyempitkan hati. Diri ini harus menuntut kemandirian. Diri ini harus menantang diri sendiri untuk bisa tegak berdiri di atas kaki sendiri.”

“Hargai pekerjaan yang kamu miliki. Menjadilah ahli dalam pekerjaanmu itu. 

Keahlianmu akan mengantarkanmu ke tempat-tempat lebih baik yang tak terbayangkan sebelumnya olehmu.”

“Jangan serahkan semuanya pada Tuhan. 
Untuk tugasmu, kerjakan dengan benar, buat strategi. Itu semua tergantung kecerdasan dan kepiawaianmu. 

Jangan mengambinghitamkan Tuhan untuk kegagalanmu itu. Kamu tidak boleh gagal kalau hanya untuk menyelesaikan tugas rutin yang polanya sama dari waktu ke waktu.”

“Keadaan di luar tak bisa sepenuhnya dikendalikan olehmu. Ada kalanya kamu merasa tak didengarkan, jangan bersedih, berpijaklah pada realitas, jangan sampai pekerjaanmu berantakan.”

“Kamu bekerja keraslah dalam diammu. Memamerkan betapa sulit pekerjaanmu bukan tindakan elegan. 

Memamerkan betapa tertekannya kamu dengan pekerjaan, bukan tindakan elegan. Orang yang banyak tahu dan banyak bekerja hanya bicara seperlunya, tak ada waktu untuk berpanjang kata sia-sia.”

“Perhatikan sekelilingmu, orang yang banyak bicara biasanya sedikit hasil kerjanya. 

Orang yang sedikit bicara biasanya banyak hasil kerjanya. Orang-orang produktif yang kinerjanya di atas rata-rata, tahu kapan bicara dan tahu kapan sebaiknya diam.”

“Orang yang banyak alasan itu sangat menyebalkan. Bagaikan benalu yang menggerogoti sistem, menyusahkan orang-orang di lingkungannya. 

Kegagalan itu tidak bisa ditolerir. Orang harus selalu siap dengan banyak cara, sehingga yang namanya kegagalan memang tidak boleh ada.”

“Gunakan waktu sebaik-baiknya. Mana ada istilah kekurangan waktu atau tak ada waktu.”


PEMIMPIN ADALAH PELAYAN

 “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10)

Sudah menjadi keharusan bahwa di dalam setiap kelompok masyarakat diperlukan seorang pemimpin. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kelompok atau organisasi besar, tetapi juga dalam kelompok-kelompok kecil. 

Pemimpin dan kepemimpinan sekarang sudah menjadi kebutuhan penting dalam masyarakat modern. Ada banyak orang, baik dengan cara langsung ataupun dengan gaya malu-malu kucing ingin menjadi pemimpin. Tentu ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk tujuan tersebut. Tetapi, salah satu di antaranya adalah adanya pemikiran bahwa menjadi pemimpin berarti akan menjadi tuan dari yang dipimpin dan ini jelas sebuah konsep yang berlawanan dengan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yang menyatakan bahwa pemimpin harus menjadi pelayan dari semuanya (Matius 22:11).

Telah diakui secara umum bahwa dewasa ini, kita sedang mengalami krisis di bidang kepemimpinan. Hal ini juga terjadi dalam gereja atau lembaga Kristen. Krisis ini semakin diperburuk oleh pemimpin-pemimpin gereja atau lembaga Kristen, yang meniru dan mempraktikkan gaya kepemimpinan sekuler. Sebagai akibatnya, tentu saja pengaruh dunia semakin dalam masuk ke gereja. Apakah salahnya mempraktikkan kepemimpinan sekuler dalam pelayanan gereja? 

Permasalahan yang utama adalah kita tidak dapat memimpin suatu gereja dengan sukses, karena dalam prinsip-prinsip kepemimpinan sekuler, tidak mengenal kuasa Roh Kudus. Tetapi ada satu perkembangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu dunia bisnis yang sering diasumsikan sebagai dunia sekuler dan kotor, justru tanpa disadari lebih banyak mengadopsi prinsip-prinsip kepemimpinan alkitabiah, sementara gereja meninggalkannya. Dengan satu kalimat singkat dapat dikatakan bahwa dalam kepemimpinannya, bisnis semakin alkitabiah dan gereja semakin sekuler.

Hal yang sangat mengkhawatirkan sekarang adalah kecenderungan lembaga gereja yang bergantung pada prinsip-prinsip kepemimpinan manusia, sehingga tidak tertutup kemungkinan suatu saat di dalam gereja, kita akan berusaha melakukan pekerjaan Tuhan dengan cara manusia.

Pemimpin Kristen adalah pemimpin yang melayani. Ini artinya bahwa seorang pemimpin Kristen bukan menerapkan kekuasaannya berdasarkan ego, tetapi berdasarkan tanggung jawab. Seorang pemimpin yang berdasarkan ego akan memuaskan egonya dalam setiap tujuan, sedangkan pemimpin yang dimotivasi oleh tanggung jawab, akan membuat dia mengurbankan egonya bagi suatu tujuan. Perlu diwaspadai bahwa seorang pemimpin yang dikendalikan ego, akan mengurangi integritasnya. 

Kepemimpinan membutuhkan kemauan keras, bukan kemauan yang egois atau keras kepala, melainkan kemauan yang tetap untuk melakukan apa yang perlu dilakukan. Esensi kepemimpinan Kristen tidak terletak pada jabatan, gelar, atau pangkat, tetapi pada “kain dan basi” sebagaimana teladan Yesus saat Ia membasuh kaki murid-murid-Nya.

Model kepemimpinan melayani adalah model yang absah dan alkitabiah, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mereka yang diangkat menjadi pemimpin di tengah-tengah umat Allah, selalu diangkat untuk melayani, entah sebagai imam, raja, atau nabi. Ketika Salomo diangkat menjadi raja, hal yang paling menyenangkan hati Tuhan adalah ketika dia memohon hati yang paham untuk membedakan antara yang baik dan jahat (1 Raja-Raja 3:9). Di sini jelas, permintaan ini bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk pelayanan kepada masyarakat yang dipimpinnya.

Demikian juga Harun saat ia ditahbiskan menjadi imam, di pundak kiri dan kanannya memikul masing-masing 6 nama dari 12 suku Israel yang ditulis pada batu permata, dan pada tutup dadanya ada 12 permata yang juga melambangkan suku-suku Israel. Hal ini dilakukan sebagai lambang tanggung jawab Harun untuk senantiasa berdoa bagi suku-suku yang dipimpinnya (Keluaran 28:12,29). Demikian juga dengan para nabi, mereka dipanggil untuk memimpin dan melayani umat.

Tuhan Yesus juga mengacu pada model yang sama. Ia mengajar murid-murid-Nya cara memimpin yang harus mereka miliki, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” (Matius 20:25-27) “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, ia hendaknya menjadi yang terakhir dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:30-37)

Dalam konteks Markus 9, yang dipermasalahkan oleh murid-murid adalah soal siapa yang terhebat di antara mereka. Ironisnya, hal itu terjadi setelah Yesus memberitahukan untuk kedua kalinya bahwa Ia akan menuju salib. Setelah peristiwa itu, Yesus mengajar mereka bahwa yang ingin menjadi pemimpin harus menjadi hamba, dan Yesus merangkul seorang anak kecil sebagai model. Dalam Lukas 22:26, Yesus kembali menekankan bahwa yang memimpin hendaklah menjadi pelayan. Selama pelayanan-Nya di dunia, Yesus dengan keras menegur para ahli Taurat dan orang Farisi, yang pada saat menjabat sebagai pemimpin jemaat “suka duduk di tempat terhormat” (Matius 23:6-7).

Akhirnya, hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam kepemimpinan yang melayani adalah, banyak orang beranggapan bahwa jika seorang pemimpin mengambil bagian dalam melakukan tugas sederhana dianggap dapat menurunkan kewibawaannya sebagai pemimpin. Jangan menganggap bahwa merendahkan diri itu hal yang mudah bagi seorang pemimpin. Masyarakat kita saat ini sudah memiliki konsep bahwa yang memimpin adalah bos, sehingga kalau seorang pemimpin mengerjakan tugas sederhana, ini tentu akan dianggap sebagai hal yang aneh. 

Dunia mustahil dapat menerima pandangan seperti ini, sebab yang dipandang wajar oleh dunia adalah seorang pemimpin harus menunjukkan kekuasaannya atas orang yang dipimpinnya. Tetapi kepemimpinan seperti ini menurut Yesus tidak dapat diterapkan dalam gereja, dan hal yang harus selalu diingat bahwa gereja dipanggil untuk melakukan kehendak Allah. Perlu diingat bahwa dalam konsep “pemimpin pelayan” yang menjadi tekanan bukanlah aspek “pemimpin” namun aspek “pelayan”. Pemimpin pelayan bukan pemimpin yang melayani, tetapi pelayan yang memimpin.

Pemimpin yang memiliki kompetensi adalah pemimpin yang bisa memotivasi dan meregenerasi pemimpin-pemimpin baru. Karena jika seorang pemimpin tidak melakukan hal ini, maka terjadi sebuah kegagalan dalam struktur kepemimpinannya. Mengapa hal ini sangat penting? Karena bagi sebuah organisasi atau struktur lembaga apa pun, regenerasi kepemimpinan harus dilakukan dengan tujuan agar dapat mempertahankan eksistensi dari lembaga tersebut. Jika tidak, maka harus siap menghadapi stagnasi yang berujung kepada kehancuran.

Terlalu banyak pemimpin yang terperangkap di tempatnya bagaikan kotak dengan langit-langit terbuat dari kaca. Atau di suatu tempat yang dikelilingi oleh dinding bata, atau dalam sebuah lingkungan yang kacau dan membingungkan. Apa pun situasinya, dalam buku yang berjudul “Kepemimpinan yang Efektif” ini, dipaparkan mengenai pandangan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk mengalami suatu terobosan ke tingkat-tingkat baru dalam pelayanan Anda. Produktivitas pelayanan Anda akan meningkat secara bertahap sementara Anda mendorong dan memberi semangat kepada para pemimpin biasa yang Anda pimpin, yang pada gilirannya akan memperlengkapi orang lain untuk menjalankan pelayanan.

Buku ini ditulis oleh Dale Galloway serta Warren Bird, yang merupakan rekan pengarang dan editor yang membantu Dale Galloway dalam meneliti perkembangan gereja-gereja. Mereka adalah orang-orang yang mengembangkan para pemimpin pelayanan di gereja lokal dengan dasar teladan pelayanan Kristus sendiri. Hampir 20 judul buku telah ditulis Galloway sepanjang pelayanannya sebagai pendeta dan pengajar. Dalam buku ini ada empat bagian besar yaitu, Bebaskan Diri Dari Status Quo, Bebaskan Diri Dari Kehidupan Sebagai Petualang dan Menyendiri, Bebaskan Diri Dari Sikap-sikap yang Menyerang dan yang terakhir Bebaskan diri dari Orang-orang yang Bermasalah. Dale Galloway berusaha menjelaskan dengan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga sangat memudahkan pembaca mengerti maksud dan tujuan penulis dalam setiap pokok bahasan. Selamat menyimak dan temukan keyakinan untuk menemukan satu masa depan pelayanan yang luar biasa.

Diulas oleh: Yonathan Sigit
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul artikel: Pemimpin Adalah Pelayan Penulis: G.I. Kristison
KUTIPAN
Nilai seorang pemimpin yang langgeng akan diukur oleh suksesi. (John C. Maxwell)



Catur dalam aplikasi Hidup Kita

Hidup seperti sebuah catur.
Kita tidak dapat mengembalikan pionir yang sudah mati karena kesalahan kita. Kita hanya dapat berpikir apa yang harus saya lakukan dengan sisa pionir saya, dan tidak terkunci dengan pionir yang sudah hilang

Pion : kadang hidup harus step by step.

Benteng : kadang kita tidak dapat berjalan karena  sesuatu yang menghalangi, tp begitu   penghalang itu terbuka, kita dapat langsung sampai diujung.

Mentri : kadang kita setelah penghalang itu lepas kita menyamping, tapi kita tetap bisa mematikan.

Kuda : kadang kita melangkahi satu langkah atau seseorang untuk mendapatkan sesuatu, dan kita punya potensi untuk melangkahi orang lain.

Ratu : kita bisa berbuat apa saja dan kemana saja, tapi hati-hati, kebebasan itu membuat kita mati dan lupa daratan.

Raja: kita bebas kemana saja tapi kita membatasi diri dan berjaga-jaga.

Ide yang menantang itu seperti bidak catur  yang bergerak maju. Mereka mungkin akan dimakan lawan, tapi mungkin juga memulai permainan yang akan dimenangkan oleh mereka. ~Johann Wolfgang von Goethe
Kita semua pernah menjadi bagian setiap pionir, hanya pilihan kita lah ingin menjadi apa di atas papan catur.

Sobat saya yang baik hatinya, satu hal, kemenangan dalam catur bukan dengan menghabisi seluruh pionir lawan, tapi seberapa keras kita berpikir, kreatif dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan dalam berbagai kondisi, tidak terpaut masa lalu dan menghadapi kenyataan, dan kita hanya akan kalah dalam 2 hal: ketika sang raja(pengendalian diri) ini terkunci di dalam semua pionir, atau ketika sang raja(pengendalian diri) ini mati.Satu hal terakhir, hanyalah Sang Raja alias diri kita sebagai satu-satunya yang tidak diangkat dari bidak catur saat mati.

Sumber: pertemuan mingguan MMK  16 Juni 2013oleh Mario Paulus Pele Colin