Translate

Senin, 25 Juni 2012

Inkulturasi Budaya Popular untuk Ekaristi Kaum Muda


Ekaristi Kaum Muda (EKM) seringkali dicirikan dengan beberapa bentuk yang mengundang tanda tanya, seperti: musik pop ‘pasaran’ tanpa ayat suci, modern dance dengan hentakan band pembawa persembahan, atau potongan video klip iklan sebagai pembuka Liturgi Sabda. Ada banyak pihak yang prihatin dengan bentuk EKM macam ini karena simbol budaya popular yang terlihat hura-hura ini dianggap menodai kesucian Ekaristi dan tak membawa umat muda dalam persatuan dengan Allah. Benarkah demikian?
 Konsili Vatikan II menyerukan agar Gereja selalu berusaha menanggapi tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dengan cahaya Injil agar dapat menjawab pertanyaan orang zaman sekarang tentang makna hidupnya (Gaudium et Spes [GS], 4). Seruan ini menjadi kesempatan agar kita maju, berdialog, menanggapi dan menafsirkan juga budaya popular – salah satu tanda zaman yang paling diperhatikan Bapa Suci saat bertemu dengan orang muda – dalam cahaya Injil.
Bentuk budaya ini sendiri sangat dekat dan telah menjadi bagian keseharian kita. Ia ditemukan dalam ‘inskripsi’ sosial yang dikonsumsi massal, seperti: novel, kartun, film, iklan, tari modern, fashion, dan aneka lagu yang saat ini digandrungi masyarakat. Budaya popular memang lahir dari produksi massal berlatar kemajuan teknologi dan kepentingan industri demi konsumsi massif. Karena sifatnya yang ‘populis’ ini, budaya popular sering dikategorikan budaya ‘kelas dua’ atau budaya ‘murahan dari pinggir jalan’. Anggapan ini juga sering datang dari kurangnya pengetahuan tentang budaya popular sebagai locus theologicus baru.
Teologi budaya Paul Tillich atau Kelton Cobb, misalnya, dapat menjadi pegangan untuk melihat substansi religius yang tersembunyi di balik lirik lagu pop, film, iklan atau bahkan fashion dan kata-kata gaul zaman ini. Lagu ‘Mr. Simple’ dari Super Junior, boyband Korea Selatan itu, misalnya mengandung pesan perlawanan terhadap struktur hidup orang muda yang sering menjadi rumit dan penuh tuntutan. Ini dapat menjadi pintu masuk mengolah tema liturgi tentang Allah yang mengasihi kita apa adanya. Penampilan nyeleneh Lady Gaga juga membawa isu ketubuhan; sebuah isu yang dapat direfleksikan dalam tema keselamatan jiwa dan badan.
 EKM yang mengadaptasi simbol budaya popular janganlah dihindari atau buru-buru dicap negatif karena dianggap tak sesuai dengan panduan liturgi yang digariskan Gereja. Alih-alih langsung melarang, lebih baik kita mengusahakan inkulturasi liturgi dengan budaya popular (atau ‘budaya kota’ dan ‘budaya industri’ seperti disebut dalam De Liturgia Romana et Inculturatione [LRI] no. 30) agar pesan Injil teresapkan mendalam sesuai dunia orang muda dan karenanya umat mampu berpartisipasi penuh, sadar dan aktif (Sacrosanctum Concillium [SC], 14).
Usaha inkulturasi dengan simbol budaya popular ini mestinya didukung dengan semangat kritis, kreatif dan setia. Serupa dengan proses inkulturasi dengan budaya-tradisional, unsur yang tak sesuai dengan Injil juga harus disaring atau ditolak. Apalagi budaya popular sarat dengan kepentingan ekonomis dan ideologis kelompok tertentu. Keaslian dan hormat pada ibadat Ekaristi perlu dijaga sehingga apa yang didoakan (lex orandi) sesuai dengan apa yang diimani (lex credendi) (LRI, 27).
Simbol budaya popular yang ditawarkan untuk mengungkapkan Yang Kudus juga harus mudah ditangkap sesuai daya tangkap umat muda serta jangan sampai meniadakan bagian-bagian Ritus Romawi (bdk. LRI, 35-37). Proses adaptasi ini tentu membutuhkan tenaga ekstra gembala dan umat muda sendiri untuk belajar lagi lebih dalam tentang budaya popular, studi media, prinsip hermenutika, psikologi perkembangan, kajian teologi kebudayaan dan liturgi serta dialog tanpa henti dengan kelompok orang muda sendiri. Keberanian para Gembala untuk mendampingi dan berjumpa secara kritis, kreatif-setia budaya popular dalam EKM akan melampaui diskusi klasik profanizing the sacred atau sacralizing the profane.
EKM dengan atribut popularnya itu tidak perlu serta-merta dipandang menginjak-injak kekudusan karena yang Ilahi juga dihadirkan dalam tanda-tanda manusiawi (SC, 59). ‘Yang Kudus’ dan ‘yang profan’ tetaplah berbeda, namun tidak menjadi alasan untuk membuat ‘yang profan’ kehilangan kesempatan untuk membuat ‘Yang Kudus’ makin kelihatan, makin terasakan, makin dihidupi secara nyata oleh orang muda kita!
dimuat di HIDUP edisi 10 Juni 2012