Translate

Rabu, 24 Juli 2013

Ketika Rumah Doa menjadi rumah Makan

(Mari Bermenung Sejenak)
Yans Sulo Paganna'dari Kawasan Wajib Bahagia

Santo Agustinus, seorang suci dan pujangga besar dalam Gereja pernah berdiskusi dengan seorang imam Fransiskan, tentang "doa". Agustinus bertanya kepada Fransiskanes, "Mana yang dibolehkan; merokok sambil berdoa, atau berdoa sambil merokok?" Dan jawaban Sang Fransiskanes, "Merokok sambil berdoa". Agustinus kemudian berkata, "Buatlah seperti itu; bekerja dalam doa dan bukan larut dalam doa dan kemudian lupa bekerja,...".

Hati-hatilah membaca percakapan Agustinus dengan Sang Fransiskanes di atas. Aku kawatir anda lepas dari konteks diskusi mereka, seperti aku ingin lepas daripadanya dengan permainan kata-kataku berikut.

Di suatu kota kecil, beberapa tahun lalu aku membaca sebuah tulisan indah "Rumah Doa" (bukan rumah berdoa lho, seperti ada rumah bernyanyi, hahaha). Bangunan itu tampak megah dan indah. Waktu itu aku sempat berpikir, kenapa disebut rumah doa? Apakah bangunan itu adalah gereja? Lalu cepat-cepat aku berpikir bahwa pasti bukan gereja, tapi memang rumah. Dan yang namanya rumah, pasti ada dapurnya, pasti ada toiletnya, pasti ada kamar tidurnya, dan pasti ada ruang tamunya. Aku penasaran dengan "kata rumah doa" itu, lalu aku terpancing untuk masuk ke dalamnya. 

Aku masuk ke lantai dasar dan mendapati barang-barang rohani yang dijual lengkap dengan buku-buku rohani. Saat itu aku mendengar kumpulan orang-orang yang sedang bernyanyi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dari lantai atas. Aku kemudian berkesimpulan bahwa "gedung" dua lantai yang megah itu adalah gedung untuk berdoa. Aku tidak tahu apakah gedung itu dibuka umum bagi siapa saja yang mau "berdoa" atau hanya untuk kelompok tertentu saja. Akupun tidak pernah bertanya kepada orang-orang di kota kecil itu.

Kemudian terkejut ketika tahun ini aku membaca tulisan di gedung itu, "Rumah Makan,..." Aku tidak memperhatikan dengan baik rumah makan apa namanya. Dalam hati aku bertanya, "Kokh rumah doa telah disulap menjadi rumah makan?" Aku tidak tahu apakah lantai atas restoran itu masih dipakai sebagai tempat menyanyi dan berdoa atau tidak. Pada saat melihat tulisan "Rumah Makan", pikiranku langsung terbang tinggi menyebrangi ruang dan waktu, yakni tentang diskusi Agustinus dengan seorang Fransiskan pada abad keempat masehi, yang sekali lagi lepas dari konteksnya.

Nah, mari kita bermenung !!!
Aku memberi judul "statusku" ini, "Ketika Rumah Doa menjadi rumah Makan". Aku ingin mengajak anda untuk bermain kata-kata sejenak. 

Seandainya Agustinus datang ke kota kecil di mana Rumah Doa telah menjadi rumah Makan, kemungkinan ia akan bertanya, "Mana yang dibolehkan, berdoa sambil makan atau makan sambil berdoa?" Dan jawaban anda pasti sama dengan jawaban imam Fransiskan, "Makan sambil berdoa". Ya tidak sopanlah kalau kemudian kita sedang berdoa lalu makan. Yang mungkin adalah ketika kita makan boleh-boleh saja sambil berdoa dalam hati. Misalnya, ketika sedang makan tiba-tiba ada sms yang masuk "Tolong doakan, aku sedang diadili oleh mertuaku dan memintaku cerai dengan anaknya. Doakanlah sekarang juga,!!!", misalnya saja demikian. Tetapi sangat tidak sopan ketika sedang mendoakan orang yang sekarat lalu tiba-tiba ingat makan dan langsung lari ke dapur untuk makan sementara anda sedang berdoa.

Baik, aku kembali ke BB, "Rumah Doa menjadi rumah Makan". Mungkin akan jauh lebih enak kedengarannya dan akan lebih enak membacanya ketika tertulis, "Rumah Makan menjadi rumah Doa" dan bukan "Rumah Doa menjadi rumah Makan". Yang pertama akan sama dengan jawaban imam Fransiskan kepada Agustinus, tetapi kedua pasti tidak diterima oleh Agustinus dan juga tidak diharapkan seperti itu. 

Berdoa sambil makan boleh dikatakan merupakan suatu ungkapan ketidakseriusan dalam berdoa; tetapi makan sambil berdoa akan berbuah aksi. Berdoa sambil makan akan menjadi doa yang hampa tanpa penghayatan akan doa itu sendiri. Berdoa sambil makan mungkin saja akan membuat Allah marah, tetapi makan sambil berdoa akan membuat Allah tersenyum gembira. Yang petama berbuah kehampaan, yang kedua berbuah aksi. Doa tanpa aksi adalah omong kosong sekaligus berbahaya, sebaliknya aksi tanpa doa adalah sia-sia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar