Translate

Senin, 10 Oktober 2011

Orang Muda Katolik: Tajam ke Dalam, Tumpul ke Luar?

OMK: Apa dan Siapa Mereka?
Seperti apa potret Orang Muda Katolik Indonesia saat ini? Pertanyaan yang sedemikian kompleksnya, hingga kita pun sulit memberi jawab atasnya. Apa varian-varian yang bisa kita angkat menjawab ‘potret’ darinya kita bisa mendapat gambaran tentang Orang Muda katolik? Kuantitasnya? Kualitasnya? Atau apa?
Adalah setiap orang muda yang sudah dibaptis dalam gereja katolik, dengan rentang usia 13-35 tahun, dan belum menikah menunjuk siapa yang disebut sebagai Orang Muda katolik. Demikian luas jangkauannya, menunjuk pula pada beraneka ragamnya wadah yang menaungi mereka. Tanpa pula lupa, mereka yang justru tidak berada dalam wadah apa pun yang menjadi komunitas berkumpulnya orang-orang muda katolik ini. Mereka justru berada dalam jumlah besar yang ‘menjadi pekerjaan rumah’ tersendiri, bagaimana mereka bisa dirangkul.
Wadah OMK itu memang banyak. Mereka ada di tingkat teritorial paroki, yang sekarang biasa disebut OMK Paroki. Di paroki pun, mereka berkumpul pada komunitas OMK wilayah dan lingkungan. Selain lingkup teritorial, mereka berada di dalam wadah yang kita sebut lingkup kategorial, yang berkumpul berdasarkan kesamaan bakat, devosi dan minatnya. Kita mengenal kelompok seperti Choice, KKMK (Kelompok Karyawan Muda Katolik), Komunitas Lajang Katolik, New Heart Community (Komunitas Single Katolik Yang Mendalami Spiritualitas Hati Kudus Yesus), Corpus Cordis, dan masih banyak lainnya. Namun ada juga kelompok orang muda katolik yang tidak berada di dua lingkup ini. Kita bisa menyebut kelompok seperti KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa katolik Republik Indonesia) dan Pemuda Katolik. Jika dibagi dalam dua kategori besar, maka komunitas Orang Muda Katolik bisa kita pilah jadi dua: yaitu yang parokial dan ekstra parokial. Yang parokial, mencakup teritorial dan kelompok kategorial, sementara yang ekstra parokial menunjuk pada PMKRI, Keluarga Mahasiswa katolik, dan Pemuda katolik.
Menyadari ini saja, kita sudah membayangkan betapa ‘modal’ Orang Muda Katolik Indonesia sangat besar. Silahkan diartikan sendiri, jika modal yang besar ini sungguh-sungguh dikelola dengan baik, maka bukan tidak mungkin gaung dan gema mereka pun akan besar. Misi besar Gereja mewartakan Kerajaan Allah di dunia, bukan tidak mungkin menjadi kian terasa dengan gerak orang muda katolik seperti ini.
Namun kenyataanya, tidaklah sesederhana itu. Modal kita memang besar, tetapi apakah sudah benar-benar efektif? Apakah modal besar ini, juga didukung oleh kualitas yang mumpuni untuk gerak dan misi bersama mewartakan kabar gembira Kristus di tengah-tengah dunia? Ini pertanyaan yang semestinya kita jawab.
Ke dalam: Spiritualitas Orang Muda
Ada satu hal yang menjadi pengikat semua wadah OMK dalam bentuk apa pun itu, yaitu kesamaan iman mereka, karena sudah dibaptis dalam Gereja Katolik. Apa pun bentuknya, apa pun wadahnya, tapi semua dan serentak mengakar pada dasar yang sama yaitu iman pada Yesus Kristus. Apakah pengalaman berdinamika dalam komunitas-komunitas ini membawa orang muda pada pengalaman perjumpaan dengan Yesus? Apakah proses pada komunitas-komunitas ini mengantar orang muda pada jatidiri kristiani, yaitu jatidiri Yesus sendiri? Ini yang kita sebut sebagai gerak ke dalam, ketika kita berproses bersama orang muda, kapan dan di mana pun itu. Itulah spritualitas yang dimensinya tidak bisa dianggap remeh oleh orang muda zaman ini.
Paus Benediktus XVI, ketika menyapa orang muda pada Hari Kaum Muda Sedunia 2007 menekankan hal ini secara sangat kuat. “Kita masing-masing telah dikaruniai kemungkinan untuk mencapai tahap mencintai yang sama, tetapi hanya jika dengan memiliki sumber dari dukungan yang diperlukan bagi anugerah yang kudus. Hubungan dengan Tuhan dalam doa membawa kita pada kerendahan hati, dan mengingatkan kita bahwa kita adalah ‘hamba yang tidak berguna. Di atas segala-galanya, ekaristi adalah sekolah yang baik untuk cinta,” ujar Paus dalam surat edarannya.
Hal yang sama ditekankan oleh Mgr. Ignatius Suharyo, ketika pertama kali menyapa pengurus Siekep se-KAJ di Gedung Karya Pastoral beberapa waktu yang lalu, agar orang muda katolik jangan sampai melupakan ekaristi di dalam hidupnya. Beliau juga menyentuh ini dalam bukunya The Catholic Way, agar orang muda katolik, pantas memberi tempat yang istimewa pada pengalaman akan Allah.
Demikian pula pada perayaan World Youth Day 2008 di Sydney, Paus menyerukan, bahwa masa kini, seiring dengan kemakmuran materi, telah terjadi kekeringan rohani: kekosongan jiwa, ketakutan yang tidak jelas penyebabnya dan keputusasaan. “Hidup yang sungguh berarti barulah ditemukan dalam mengasihi. Anugerah terbesar kabar sukacita yaitu panggilan untuk meemukan kepenuhan dalam cinta. “Dan Gereja membutuhkan iman, idealisme dan kemurahan hati kaum muda. Dengan demikian Gereja akan selalu muda dalam Roh. Gereja bertumbuh dengan kuas Roh Kudus yang memberikan kabar sukacita dan inpirasi untuk melayani dengan sukacita. Bukalah hati kalian bagi kuasa Roh Kudus,” ujar Paus Benediktus XVI di hadapan ribuan orang muda yang datang dari 93 negara ketika itu.
Inilah gerak ke dalam yang dupayakan dalam pendampingan orang-orang muda. Mgr. Suharyo mengungkapkan sebuah pertanyaan ini: “Bagaimana orang-orang muda dapat didampingi agar sampai pada pengalaman akan Allah yang mengubah dan membarui kehidupan? Saya yakin, semakin pribadi dan mendalam pengalaman seseorang-terutama orang muda- akan Allah, semakin luas pula medan hidup yang akan ia masuki sebagai perwujudan imannya: kerasulan di bidang media, politik, budaya dan juga agama.”
Keluar Sebagai Perwujudan Iman
Basis yang kuat pada spiritualitas, tentu tidak menjadikan segala-galanya selesai. Ia harus berbuah dalam kesaksian melalui tindak nyata di tengah-tengah masyarakat, dalam medan kehidupan yang kompleks. Di Indonesia khususnya, panggilan OMK itu kian terasa.
Orang Muda katolik hadir di tengah situasi sosial yang beranekaragam, baik suku, agama, bahasa maupun budaya. OMK tumbuh dan berkembang di tengah komunitas bangsa yang sedemikian pluralnya. Apalagi menyadari dirnya sebagai kelompok minoritas di tengah keberagaman yang ada. Apakah OMK adalah kelompok yang hanyut terlarut dalam dinamika kehidupan sosial yang demikian kompleks? Apakah OMK adalah kelompok yang merasa ‘minder’ lantaran jumlahnya yang kecil itu? Apakah OMK adalah komunitas yang apatis dengan sitausi sosial disekitarnya? Apakah OMK adalah kelompok yang eksklusif di mana ia mengurung diri dan asyik dengan kelompoknya sendiri? Apakah OMK adalah kelompok yang merasa puas diri dengan segala dinamika religius dan spiritual yang dilakoninya setiap hari?
Berkali-kali, terdengar di telinga OMK, seruan Mgr. Soegijapranata puluhaln tahun silam yang termassyur itu, tentang menjadi Seratus Persen Indonesia, Seratus Presen katolik. Jargon yang keluar dari dari kader Pemuda Katolik, menyangkut Pro Ecclesia et Patria; Bagi Gereja dan Negara. Seratus persen menunjukkan totalitas; bukan setengah-setengah, suam-suam kuku, apalagi tidak ada sama sekali. Jika ke dalam, OMK membangun imannya penuh seratus persen, ke luar pun OMK membangun dirinya sebagai sungguh-sungguh warga negara Indonesia. OMK yang hidup, makan dan tumbuh dari rahim ibu bumi bernama Indonesia adalah OMK yang ikut bertanggungjawab terhadap derap langkah perjalanan bangsa ini. Demikian halnya kesadaran yang melakat pada diri OMK sebagai warga bangsa, tidak pernah terpisah dengan identitas kekatolikkan. Justru kekatolikkan, atau iman pada Yesus itu melakat dengan sendirinya pada tugas dan tanggungjawab sebagai warga negara, yang hidup bersaudara dengan kelompok agama lain, ikut membangun bangsa, membangun keadaban publik, demi kebaikan bersama. Tidak pernah menjadi Katolik, membuat kita terpisah dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Justru tempat iman itu diwujunyatakan adalah tempat di mana kita berada, unutk kita saat ini adalah tanah air Indonesia. Gereja adalah komunitas umat beriman yang berada di tengah-tengah dunia, demikian juga OMK-nya, adalah komunitas yang ada dan hadir di dunia; tempat di mana OMK menghayati imannya secara penuh.
Sudah bukan saatnya lagi kita mengotak-otakkan komunitas Orang Muda pada peran yang juga terpisah-pisah. Cara tentu boleh berbeda, tetapi peran sosial kemasyarakatan bukan sebuah pilihan lagi, tetapi sesuatu panggilan yang melekat dengan sendirinya. Peran sosial kemasyarkatan, tidak bisa dibatasi lagi pada teman-teman muda PMKRI atau Pemuda katolik. Itu bisa dilakukan oleh OMK di paroki-paroki, kelompok kategorial apa pun itu. Demikian halnya PMRKI dan Pemuda Katolik, saking sibuknya dengan peran sosial politik kemasyarakatan, lalu lupa dimensi iman atau spiritualitas. Jika stereotip yang berkembang, kalau OMK di paroki-paroki itu adalah ‘para jago kandang’ karena sibuk melayani Gereja yang ada di seputar altar itu, maka saatnya untuk bertobat dan membangun langkah yang real pada peran sosial kemasyarakatannya. OMK adalah juga orang muda yang dengan kapasaitas manusiawi dan spiritualnya adalah para jago tandang. Dialog antar agama hanya contoh saja dari sekian banyak peran yang bisa dimainkan. Bisa bidang budaya, politik praktis, atau apa pun itu.
Sebagaimana ditemukan oleh kader muda dari 25 Keuskupan yang ikut dalam pendidikan politik di Klender - Jakarta TImur dua tahun lalu bahwa OMK merupakan kekuatan amat penting dalam Gereja dan masyarakat. Dari hari ke hari peran OMK di bidang sosial kemasyarakatan makin tampak. Dasar dari seluruh peran itu adalah OMK merupakan bagian utuh dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ia dipanggil untuk mewujudkan keselamatan melalui keterlibatan dakam setiap aspek kehidupan bangsa. Peran sosial kemasyarakatan adalah panggilan. Secara lebih real, OMK Indonesia saat ini, apa pun bentuknya, dipanggil dalam konteks Indonesia yang sedang bergerak maju dalam sistem demokrasinya.
Kemudian menjadi nyata seruan Gereja universal Konsili Vatikan II, bahwa “Kaum muda merupakan kekuatan amat penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah amat banyak berubah. Seringkali mereka terlalu cepat beralih kepada kondisi sosial ekonomis yang baru. Dari hari ke hari peran mereka di bidang sosial dan juga politik semakin penting.” (AA 12). “Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warga negara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Hendaknya mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang” (GS 75). Jika, OMK tajam ke dalam dengan segala laku spiritualnya, maka hendaknya ia pun tajam ke luar pada peran sosial kemasyarakatannya. OMK bukan lagi kelompok minoritas yang hanyut dan terlarut, tetapi mereka adalah kelompok minoritas, yang hanyut, tetapi tidak terlarut.
Sebab, hidup dengan panggilan itu spiritual, karena aku membuka diri bagi Bapa yang menyapa hatiku. Hidup dengan panggilan itu solider, karena aku membagi-bagi diriku bagi sesamaku. Hidup dengan panggilan itu transformatif bagi diriku sendiri, karena mengajak aku merubah sikap batin dan mengembangkan ketrampilan yang perlu untuk menjalani panggilan itu. Hidup dengan panggilan itu partisipatif, karena aku bergerak keluar, berjumpa, dan melakoni perbincangan kemanusiaan dengan dunia sekitarku. Hidup dengan panggilan itu visioner sekaligus misioner, karena aku menumpukan karya hidupku demi dunia yang lebih baik.
Thomas Suwarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar