(Remah-remah dari Pertapaan)
Ada lagu, "Sunyi sepi ku sendiri,..." Mungkin boleh dikatakan pencipta lagu tersebut mengambil salah satu dari dua situasi dalam kesunyian. Dalam kesunyian seseorang bisa mengalami kesepian, tetapi juga dalam kesunyian seseorang tidak jatuh dalam kesepian, atau bahasa negasinya "Sunyi yg tidak sepi". Maka mungkin akan menarik kalau kemudian dicipta sebuah lagu "Sunyi yang tidak sepi walau ku sendiri,...", hahaha. Siapa minat untuk mencipta lagu dengan judul tersebut, jangan lupa traktir aku kalau beredar kasetnya, karena aku dah bantu kasih ide, hahaha.
Di sore menjelang malam di atas buntu Bokin, kuingin "mencipa" sebuah kisah dalam kesunyian yang tidak sepi tersebut. Anda jangan mengidentikkan kesunyian dengan kesepian. Sunyi tidak identik dengan sepi dan sebaliknya. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan contoh untuk itu. Anda mungkin biasa mendengar pedagang kaki lima berkata, "Hari ini pembeli di sini sepi sekali,...", padahal di sampingnya adalah penjual kaset musik rock atau pop yg memperdengarkan lagu-lagunya dengan volume spiker yg maksimum.
Kesunyian tidak identik dengan kesepian, atau sunyi tidak identik dengan sepi. Itulah yang aku alami hampir setiap hari di pertapaanku, yang kemudian kusebut dengan Kawasan Wajib Bahagia Bokin. Kendati dalam kesendirian, tanpa televisi atau musik, plus tanpa suara manusia lain selain suaraku ketika berteriak karena terantuk oleh gelapnya malam atau memanggil "Mara" anjing peliharaanku untuk mendpatkan jatah makannya, atau sekedar memetik gitar sembari menyanyikan lagu-lagi kenangan, tetapi yang namanya kesepian hampir tidak aku rasakan. Di tengah kesunyian itu, aku larut dalam kerja dan kerja; mulai dari urusan Tuhan Allah sampai urusan dapur; dari altar, meja kerja sampai ke kebun dan kolam ikan, dll. Waktu berganti dari pagi hingga malam, dan seakan-akan aku tidak merasakannya, bahkan terkadang kurasa waktu 24 jam sehari tidaklah cukup.
Sore menjelang malam ini, yang terdengar adalah bunyi ayam-ayamku yang mulai naik bertengger ke atas pohon mangga samping rumahku, bunyi binatang malam yang indah merdu bagai musik pengiring nyanyian para serafim menyambut malam, berpadu dengan suara air yang jatuh ke dalam bak penampungan di samping dapurku. Tidak ada suara bising seperti yang kudengar kemarin-kemarin di kota Makassar. Tidak ada teriakan keras, "Gooolll,..." mereka yang menonton sepak bola. Tidak ada kisah suara musik atau suara televisi yang ribut-ribut menyorot politisi musang berbulu domba. Tidak ada suara karyawan yang mempersiapkan makan malam di refter (dapur) karena aku memang tinggal seorang diri di atas bukit yang jauh dari tetangga di lembah. Juga tidak ada suara masjid atau suara-suara ciptaan manusia. Yang ada hanyalah suara binatang malam dan anjing tetangga di seberang sana serta suara air gunung yang mengalir ke bak penampungan berjalan seiring berjalannya malam dalam kegelapan kampung kampung Bokin.
Dalam suasana "super" sunyi itu, aku sama sekali tidak merasa kesepian, karena pekerjaan di meja kerja, dapur, dan OL dan membuat filem menantiku, hahaha. Situasi ini telah kulalui selama tiga tahun semenjak masa tugasku di bagian timur Toraja bernama Bokin. Dengan bantuan cahaya lampu PLN swadaya yang mati-hidup mati-hidup, yang baru satu tahun terakhir ini kami sambung dari kampung seberang dan tidak sanggup memutar musik tape atau televisiku yang memang ukuran besar, aku mencoba merangkai kata dan kalimat di malam hari, atau mencoba menyambung filem yang satu dengan yang lainnya bagai seorang tukang las sampai larut malam sehingga terkadang aku sendiri lupa waktu ternyata ayam jantan di samping sumahku berkokok tanda sudah subuh. Begitu terus setiap hari kalau aku tidak pergi melayani ke pedalaman dan pulang tengah malam mendapati rumahku dalam keadaan gelap gulita karena lupa men-on-kan lampu tenaga surya di bagian dapur dan ruang tengah rumahku.
Di tengah kesunyian yang tidak menghadirkan kesepian bagiku kurasakan betapa indahnya hidup di desa yang tidak panas, bebas nyamuk, dan bebas suara bising kendaraan dan suara-suara buatan manusia yang lain. Dengan ini aku bisa masuk dalam diriku sendiri untuk berbicara dengan diriku dan alam yang sunyi ini. Anda jangan tersinggung, aku tidak menuduh suasana bising sebagai suatu suasana dimana anda sulit berbicara dengan diri anda sendiri. Situasinya sesungguhnya sama saja. Kendati dalam kebisingan, kita bisa saja menciptakan kesunyian yang akan melahirkan ketenangan batin dan kebahagiaan. Tetapi bukan tidak mungkin juga dalam kebisingan kita berjumpa dengan kesepian yang sungguh-sungguh menyiksa. Dan sebaliknya di tengah kesunyian, kita bisa saja menciptakan suasana bising yang melahirkan kegalauan, tetapi bukan tidak mungkin pula untuk menemukan ketidaksepian yang membuahkan ketenangan batin dan kebahagiaan.
Maka sekarang aku mau mengatakan benang merah dari situasi apa pun yang dialami oleh manusia;" Bahwa entah dalam kebisingan atau kesunyian, kita bisa menciptakan suasana yang bisa melahirkan ketenangan batin dan kebahagian, dan atau sebaliknya bahwa entah suasana kesunyian atau kebisingan kita pun bisa terjatuh dalam suasana galau tidak menentu". So, kunci rahasianya ada di tangan masing-masing orang; mau mensyukuri situasi yang ada atau "bermimpi" untuk mengubahnya, kalau yang terakhir maka bersiaplah untuk bertarung dengan kegalauan dan rasa penyesalan yang tsk tersembuhkan. Untuk masuk dalam situasi apa pun, belajarlah dari seorang "Samurai sejati", yang tugasnya hanya berlatih dan berlatih dengan senjata super tajam di mana ia sendiri tidak pernah berpikir bahwa apakah latihan pedang yang ia lakukan akan menghasilkan kemenangan atau justru berbuah maut. Lalu apa habenya (hubungannya)? Temukan HBny dalam suasana sunyi yang tidak sepi kendati anda sedang berada di tengah kota Metro yang bising***
Kawasan Wajib Bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar