Translate

Kamis, 23 Mei 2013

Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan

=Mari berfilsafat Cinta bersama Gabriel Marcel=
(Remah-remah Pertapaan)

Tahukah Anda bahwa tema pembicaraan paling laris manusia sepanjang abad bukanlah Tuhan atau Allah, tetapi cinta??? Lihatlah saja, entah sudah berapa kilometer buku tentang cinta andaikan dijejer di jalan raya; entah sudah berapa gudang lagu dan filem tentang cinta yang pernah dicipta oleh manusia; dan tak terhitung jumlah manusia yang pernah bahkan mungkin sedang atau akan menjadi korban cinta. Barangkali anda adalah salah satu di antaranya, hahaha. Anda tidak perlu heran dan terkejut, karena manusia pada umumnya terlahir karena cinta. Maka tidak tanggung-tanggung, Gabriel Marcel (seorang filsuf kontemporer) menghabiskan sebagian besar energinya untuk berbicara tentang cinta. 

Dari pertapaanku, di depan jendela raksasa (ukuran 275 cmx4m) rumahku yang sengaja kubiarkan terbuka 24 jam setiap hari, ketika bunyi binatang malam menyambut malam dan kegelapan mulai meliputi kampung Bokin, aku duduk menatap jauh ke depan walau pandanganku tertutup oleh gelapnya malam di luar rumahku tetapi sayup-sayup tertangkap olehku serangkaian kisah perjalananku melayani umat Allah di pedalaman Toraja bagian timur. Aku tiba-tiba tersenyum saat alam sadarku memunculkan kata "Melayani dengan cinta". 

Entah kenapa aku tiba-tiba tersenyum saat pikiranku menggenggap kata tersebut. Mungkin karena atas nama cinta itulah aku harus terkapar seharian dan harus mengurus semuanya serba sendiri. Atas nama cinta, kemarin aku naik-turun kota, dan pulang-pergi ke pedalaman; mulai dari pagi setelah kerja bersama tukang di depan rumah, turun ke kota untuk urusan paroki, dan pulang ke rumah untuk kemudian terus lagi ke pedalaman untuk pelayanan orang mati sampai kehujanan di jalan dan pulang tengah malam. Semuanya "katanya" atas nama cinta. Tetapi sayang, aku mulai tersadar bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Karena itulah aku terkapar sepanjang hari karena energiku terbuang saat mengetahui bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Bagaimana tidak? Saat sebelum makan malam bersama di pedalaman, aku sempat melontarkan "harapan" untuk meminta sumbangan tenanga beberapa orang dari kampung tersebut untuk datang membantu membenahi longsor pastoran, dan yang kudengar adalah "penolakan halus" dengan alasan jalanan yang rusak. Aku sungguh-sungguh tidak siap mendengar "penolakan halus" tersebut dan spontan aku berkata, "Oo, kalau aku yang ke pedalaman mengunjungi kalian, jalanannya tiba-tiba diaspal, tapi kalau kalian yang ke pastoran jalanannya rusak???" Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku diliputi tanya, "Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan,..." 

Mungkin aku tanpa sadar menjadi penganut aliran "Do ut des = memberi untuk menerima", entahlah. Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terjatuh dalam aliran tersebut, tetapi alam bawah sadarku berteriak dan mengamuk, sehingga energiku terkuras habis nyaris seperti tangki motor yang kehabisan bensin di pedalaman.

Dalam adaku yang nyaris kehabisan energi, di depan jendela rumahku di malam ini, tiba-tiba lamunanku terbang ke ruang kuliah sekitar 12 tahun lalu saat duduk manis di bangku filsafat mendengarkan Prof. DR. Sudiarja, SJ menjelaskan tentang teori "filsafat cinta" Gabriel Marcel (1889-1973). Kucoba mengingat bagaimana Marcel membagi empat tingkatan cinta: 1. Kerelaan, 2. Penerimaan, 3. Keterlibatan, dan 4. Kesetiaan. 

Marcel dengan teori aku engkau dalam orang lain, dan aku engkau dalam sesama, membuatku bermenung dan bermenung. Empat tahapan cinta Sang Filsuf Cinta di atas memancingku untuk merefleksi diri. Tahap pertama yakni kerelaan (Prancis: disponsibilite), akhirnya mengantarku untuk menyadari fondasi cinta adalah kerelaan atau tanpa paksaan. Baik aku, maupun umat yang aku layani tanpa sadar membuang fondasi ini (kerelaan). Masing-masing berangkat dengan asumsi kerelaan yang berujung keluhan dan seribu satu alasan. Maka jangan berharap menuai buah cinta, karena fondasinya rapuh dan tidak kokoh bagai fondasi depan rumahku yang "seharusnya (bukan terpaksa) roboh" karena niat baik awal diracuni dengan seribu satu alasan.

Tahap berikutnya setelah kerelaan adalah penerimaan (Prancis: reseptivite), sebuah tahap dimana seharusnya yang lain dipersilahkan untuk memasuki dunia masing-masing dengan mendengarkan stu dengan yang lain. Sebuah tahapan yang sangat berbahaya, karena terkadang jatuh dalam prinsip aku berbeda dengan dirimu karena anda adalah yang lain. Godaan terbesar dalam tahapan ini adalah ingin menang sendiri seperti lagunya Titiek Sandora. Aku sulit menerima situasi bahwa cinta terkadang bertepuk sebelah tangan karena tidak memahami alasan di balik seribu satu alasan. (Bersambung). Mohon maaf aku akhiri di sini, karena pekerjaan dapur memanggilku untuk melaksanakan kewajiban makan supaya kondisi fisik tidak semakin parah.***

Kawasan Wajib Longsor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar