Translate

Rabu, 07 Agustus 2013

Rupanya Lebih susah Mendengarkan daripada Melihat dan Berbicara

(Belajar dari Pengalaman membuat Patung)

Untuk sementara aku harus meninggalkan pekerjaan membuat patung kepala mendiang Paus Yohanes Paulus II di pendopo pastoranku, selain karena sudah malam tetapi juga aku menunggu hati yang tenang tanpa kejengkelan dan kemarahan dalam diriku. Hal yang terakhir inilah satu-satunya syarat tanpa diskusi kalau mau membuat patung dengan hasil yang memuaskan. Berkali-kali aku mencoba membuat daun telinga patung tokoh idolaku yang kubuat dari campuran pasir dan semen tetapi selalu gagal. Mata, hidung dan bibirnya berhasil kubuat tanpa kesulitan, kendati belum sampai pada tahap membuatnya tersenyum seperti foto aslinya karena harus menunggu waktu di mana hatiku juga harus tersenyum seperti pesan guruku, "Kalau mau membuat patung tersenyum atau tertawa, hati anda pertama-tama harus tersenyum dan tertawa. Kalau tidak sanggup, tinggalkan pekerjaan itu dan kembalilah saat hatimu sudah bisa tersenyum dan tertawa,...". 


Sampai pada tahap hidung, mata, dan bibir, pekerjaan masih berjalan dengan baik. Tetapi ketika sampai pada pembuatan daun telinga, aku selalu gagal. Aku tidak tahu mengapa bagian ini merupakan bagian paling sulit untukku. Berkali-kali kucoba dan selalu gagal, sampai-sampai hati dan budiku yang coba kujaga ketenangannya terpaksa berontak emosi. Daripada mendapatkan hasil yang lebih buruk, aku harus mundur sejenak untuk mencari waktu yang lebih tenang. Mungkin aku harus "latihan" mendengar lagi supaya daun telinga patung yang sementara aku buat tidak rusak lagi.

Kucoba memandang patung tembok yang sementara kubuat itu. Aku mulai bertanya untuk diriku sendiri, mengapa begitu susah membuat daun telinga daripada bagian-bagian yang lain? Tiba-tiba dari tempatku duduk memandangnya hatiku menjawab bahwa barangkali memang harus demikian karena bagian pendengaran pada manusialah yang paling rumit. Aku terpancing lagi untuk masuk pada kontemplasi liar ala pertapaanku.

Aku tidak tahu apakah memang demikian, bahwa bagian pendengaranlah yang paling rumit dan susah pada manusia seperti rumitnya membuat daun telinga pada patung yang sementara kubuat??? Kalau iya, mengapa? Kucoba untuk mencari jawaban tetapi samar-samat ia terbang tinggi menerobos kabut yang sesekali saja muncul lalu menghilang lagi. Kucoba mengejarnya tetapi kekuatan inderaku tidak sanggup untuk menangkapnya. Aku pulang dengan kekalahan, tanpa jawaban yang pasti, mengapa? 

Kubiarkan diriku larut dalam permenungan, menjawab pertanyaan mengapa bagian daun telinga yang paling sulit aku buat. Aku akhirnya sampai pada kesimpulan sementara bahwa mungkin karena aku (dan mungkin manusia pada umumnya) begitu gampang berbicara, tidak sulit untuk melihat dengan mata, tetapi begitu sulit untuk mendengarkan. Iya, mungkin itulah jawabannya. Betapa aku gampang berkata-kata dan berbicara serta berteori. Begitu gampang aku menggunakan mataku untuk melihat, bahkan melihat keburukan orang lain. TETAPI betapa sulitnya menjadi seorang pendengar dan mendengarkan orang lain bahkan mendengarkan suara TUHAN. Oh, my God,...!!! Betapa aku terkejut dengan pengalamanku membuat patung hari ini. Mungkin TUHAN sendiri yang datang "berteriak" memperdengarkan suaraNya, betapa aku begitu sulit mendengarNya dengan menunjukkan kepadaku betapa sulitnya membuat daun telinga pada patung yang sementara aku buat. 

Lamunanku kini makin liar. Mungkin itulah sebabnya mengapa Ia menciptaku dengan satu mulut, dan dua telinga; supaya aku lebih banyak menggunakan telingaku daripada mulutku untuk berbicara dan cerewet. I don't knowlah, hahaha. 

Oh, iya pengalamanku membuat patung hari ini membuatku kembali merenungkan kata-kata yang sering aku kutip saat memberikan rekoleksi kepada anak-anak sekolah, "Tahukah anda mengapa TUHAN mencipta manusia dengan satu mulut, satu hidung, dua mata, dua tangan, dua telinga, dan tiga otak?" Dan aku selalu berkata, "Supaya kita menggunakan mata kita dua kali lipat daripada mulut, menggunakan TELINGA kita dua kali lipat daripada mulut, menggunakan tangan kita dua kali lipat daripada mulut, dan otak kita tiga kali lipat dari pada yang lain,..."

Untuk sementara aku sampai pada kesadaran betapa aku harus lebih sadar untuk menggunakan telingaku, mendengarkan orang lain dan terutama TUHAN daripada melihat dan berbicara dan berbicara alias cerewet. Kini aku sampai pada kesimpulan sementara bahwa betapa sulitnya menjadi pendengar daripada melihat dan berbicara, seperti aku sulit membuat daun telinga pada patung daripada membut mata dan mulut. So, mari belajar dan terus melatih diri untuk mendengarkan orang lain dan TUHAN daripada melihat dan berkata-kata.***

Kawasan Wajib Bahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar