Translate

Jumat, 07 September 2012

Mana Orang Muda Katolik Sekarang?

Mencoba menulis lagi tentang kaum muda katolik agaknya membuka kembali kegeraman kepada komunitas muda katolik di tahun 2004. Tahun 2004 setidaknya bisa menjadi momentum bagi kaum muda katolik untuk sedikit membuka kepedulian kepada nasib bangsa yang semakin terpuruk. 

Awal 2004 melalui jejaring mahasiswa jogjakarta, solo dan semarang (joglosemar) saya kembali diajak untuk menyambangi komunitas kaum muda katolik yang sudah lama saya tinggalkan. Kala itu, dengan sedikit promotor dari Wisma Mahasiswa Yogyakarta, terjadilah sebuah TFT Voter education (VE) yang dilaksanakan di Wisma Salam, Muntilan. Komitmen dari peserta TFT tersebut yaitu melakukan repetisi di masing-masing wilayah dampingan. Akhirnya, di Yogyakarta juga melakukan TFT serupa dengan dukungan dari Kevikepan DIY. Setelah perjuangan yang sedikit berat, TFT VE bisa dilaksanakan dengan diikuti oleh mudika di seluruh kevikepan yogyakarta.

Sekitar 50 kaum muda katolik pada waktu itu terjaring untuk mengikuti TFT Voter Education. Sayangnya, di akhir pelatihan terjadi konflik yang berkepanjangan yang muncul karena prejudice dan agaknya juga kemalasan. Adanya dugaan bahwa TFT tersebut ditunggangi oleh salah satu Organisasi Massa yang berkedudukan di Jakarta menjadi penghambat ketiadaan fllow-up. Berkedok adanya ditungganginya TFT VE tersebut muncul resistensi dari kelompok mudika untuk menyatukan gerak melakukan VE di masing-masing paroki. Akhirnya, kesepakatan akhir yang bisa ditempuh adalah menyerahkan reduplikasi VE di masing-masing paroki oleh masing-masing mudika.

Sebuah Refleksi

Follow-up TFT yang berasumsi akan dilakukan secara otonom oleh masing-masing mudika agaknya selalu menjadi omong kosong belaka. Cukup banyak TFT yang dilakukan oleh Youth Center Salam yang kemudian menyerahkan pada masing-masing individu untuk melakukan reduplikasi. Pertanyaannya adalah berapa banyak dari mereka yang benar-benar melakukan reduplikasi? Seringkali kegagalan TFT adalah ketiadaan mekanisme pasca pelatihan. Peserta TFT bak bayi yang langsung dimasukkan hutan maka akan mati dimakan macan. Ketuntasan. Semangat inilah yang hilang di dalam spritualitas gerakan katolik. Pelatihan yang dilakukan hanya sekedar memproduksi pelatihan yang berjibun namun tidak mengadakan pendampingan. Beberapa aspek yang terpenting dalam sebuah pendampingan adalah konsistensi dan kesetiaan untuk menggeluti permasalahan lokal. Salah satu institusi yang dimotori oleh orang-orang katolik yang juga mengembangkan pendampingan di bidang keuangan mikro juga menghadapi problem yang serupa. Setelah berproses lebih dari tiga dekade, pendampingan kepada kelompok usaha mikro semakin terbengkalai karena ketiadaan konsistensi dari pendamping-pedampingannya.

Permasalahan yang terpenting adalah bagaimanakah konsep pendampingan yang sekarang dikembangkan oleh Gereja Katolik. Pendampingan perlu dilihat tidak hanya sekedar menemani dan mengembangkan Iman semata. Pendampingan juga perlu dilihat untuk menemukan dan menanggapi permasalahan kontekstual yang terjadi di sekelilingnya. Sayangnya, konteks terakhir tersebut jarang diperhatikan. Selama ini pendampingan di masing-masing paroki yang konvensional atau komunitas-komunitas katolik dilakukan oleh seminaris. Dan yang patut disayangkan lagi hanya pendekatan pendampingan rohani yang lebih ditekankan.

Mempertanyakan pendampingan

Permasalahan yang sekarang perlu diselesaikan adalah format pendampingan seperti apakah yang harus dilakukan bagi orang muda katolik. Secara konseptual, pendampingan perlu melihat pada dua aspek. Pertama, aspek pengembangan iman. Mengenai bagaimana implementasinya gereja sudah sangat memahaminya. Kedua, aspek sosial. Pendampingan dilakukan untuk mengajak kaum muda katolik menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekeliling mereka. Pendampingan menjadi bermakna ketika mengakar pada kebutuhan yang sangat praksis di masyarakat.

Namun, model pendampingan tersebut memerlukan sebuah orientasi ulang terhadap pemaknaan kerja dan karya mudika di masyarakat. Pemaknaan karya sebagai orang katolik yang tidak terbatas pada kegiatan keagamaan dan diperluas pada aktivitas sosial yang tidak caritatif. Memperluas kegiatan tidak hanya disekitar altar, tetapi keluar ke jalanan. Setidaknya tuntutannya adalah keluar dari kepompong pemaknaan kegiatan agama.

Permasalahan kedua yang perlu diselesaikan adalah pendamping itu sendiri. Siapakah yang mampu mendampingi dan bagaimana pendamping bisa totalitas dengan pendampingannya? Sayangnya, orang-orang katolik yang cukup berpotensi dan memiliki karya sosial yang cukup bagus malah tersingkir atau tersingkirkan di luar gereja. Salah satu sebab tersingkir-nya mereka kekecewaan terhadap gereja secara struktural atau karena kritik mereka yang terlalu pedas terhadap gereja.Sebagai sebuah usaha untuk mereformasi pendampingan. Individu-individu yang potensial namun tersingkir tersebut perlu dilibatkan kembali ke dalam pendampingan orang muda katolik. Namun, perlu kerendahan hati dari gereja struktural untuk menerima kritik pedas dari pengikutnya sendiri. Persyaratan terakhir inilah yang sering tidak dimiliki gereja struktural.

Pertanyaan selanjutnya adalah totalitas pendampingan. Pendampingan hanya bisa dilakukan dengan totalitas jika pendampingan hidup untuk, demi dan dari pendampingan. Hal sederhananya adalah bagaimana pendamping mendapatkan nafkah hidupnya dari pendampingan yang dilakukannya. Nah, format pendampingan seperti apakah yang bisa menghidupi pendamping. Misalnya saja, pendampingan yang mengajak mudika untuk mengembangkan pertanian organik, pengembangan usaha mikro ataupun penanganan sampah kota. Setidaknya, pendamping tidak tercerabut dari akar hidupnya dan kaum muda bisa menjajaki dunia pelayanan di luar kegiatan altar.

Memetakan Tantangan

Tantangan awalnya adalah mendorong orang muda katolik untuk keluar dari logika berpikir kegiatan katolik terbatas pada altar. Mendorong mereka untuk berpikir bahwa kegiatan sosial tidak terbatas pada kerja caritatif semata. Usaha ini perlu ditekuni sedikit demi sedikit. Membuka paradigma tersebut tidaklah muda karena kaum muda katolik agaknya lebih menikmat berada di zona nyaman.

Akhir kata, semoga bukan hanya mimpi.

1 komentar: