Translate

Jumat, 26 Agustus 2011

KAUM MUDA DAN PROBLEMATIKANYA



Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Gereja Katolik

Menindak lanjuti hasil rapat Mudika MBSB pada Minggu 16 Juli 2006, maka panitia sepakat menggelar acara temu keakraban MUDIKA stasi Maria Bunda Segala Bangsa di Pantai Nusa Dua pada hari Minggu 23 Juli 2006Hadir dalam kesempatan itu, pembina Mudika Bapak Jefry, crew WFX yang diwakili oleh Mbak Nita (nita siregar), Pak Peter Jaury sebagai seseorang yang mempunyai banyak pengalaman dalam organisasi Mudika, serta Romo Arnold (romo tamu di stasi MBSB) dan Romo Venus. Sebagai tema umum dalam acara temu keakraban tersebut adalah “Kaum Muda Dan Problematikanya”, sedangkan tema khusunya adalah Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Gereja Katolik”.
            Acara yang dipandu oleh Lady dan Satri tersebut awalnya berjalan sangat monoton, peserta sendiri terlihat masih ragu dan enggan untuk mengutarakan problem atau sekedar bertanya. Situasi tersebut akhirnya berangsur-angsur mencair setelah awalnya Pak Jefry selaku pembina angkat bicara dan melemparkan pertanyaan seputar pacaran beda suku dan daerah. Peserta pun mulai menaggapinya. Terbukti Dewi, salah seorang peserta berbagi pengalamannya. Situasi pun mulai terlihat hidup dengan pertanyaan-pertanyaan dari peserta seputar masa pacaran dan problemanya. Apa sebenarnya yang di cari pada masa pacaran, apa saja yang harus dihindari, bagaimana sikap kaum muda Katolik dalam menyikapi serta menghindari sex bebas saat masa pacaran yang santer belangkangan ini. Romo Arnold selaku salah satu nara sumber pun angkat bicara, dapat kita tebak reaksi beliau dengan pertanyaan yang diajukan para peserta. Romo Arnold sangat tidak setuju dengan adanya sex bebas pada masa pacaran. Sebaliknya Romo Arnold menegaskan bahwa hal–hal yang sebenarnya dicari masa pacaran adalah, bagaimana kaum muda mengenal serta memahami pribadi masing-masing, disini kejujuran dan kesetiaan menjadi hal yang sangat fundamental yang harus dipertahankan oleh pasangan muda–mudi. Romo menyarankan masing-masing pasangan lebih terbuka dan menerima pasangannya apa adanya dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki.  Lebih jauh Romo Arnold menegaskan, bicara tentang cinta, ada satu fenomena yang menarik yang perlu mendapat perhatian dari kaum muda semua. Sepertinya sebagian besar dari kaum muda selalu merasa “gatal” bahwa jika cinta tak diekspresikan dengan aktivitas mencintai, akan berakhir dengan kegelisahan. Itu sebabnya, jangan heran jika akhirnya banyak kaum muda yang kabur dalam memaknai cinta. Banyak yang gelap mata, dan tidak sedikit yang miskin ilmu. orang mengira mengekspresikan cinta, ternyata malah mengubar nafsu. Padahal, cinta tak sama dengan “aktivitas” mencintai. Tak berbanding lurus pula. Untuk itu kenapa kita harus memaksanya untuk disamakan? Dua alasan tadi tak perlu dipertentangkan. Karena yang terpenting adalah bahwa tanpa diekspresikan dalam aktivitas saling mencintai pun cinta tetap akan tumbuh di hati. Kenyataan ini pula yang mengukuhkan bahwa cinta tidak selalu sama dan tak sebangun dengan aktivitas mencintai. Jelas, ini mematahkan mitos selama ini yang meyakini bahwa jika jatuh cinta harus diwujudkan dengan “aktivitas” mencintai. Namun meski demikian, bukan berarti cinta tak boleh diekspresikan sama sekali dalam “aktivitas” mencintai. Ini sekadar gambaran bahwa kaum muda jangan keburu menyimpulkan bahwa sex bebas adalah jalan pintas untuk mengekspresikan cinta. Nah, kalau pun harus diekspresikan dengan ”aktivitas” saling mencintai, tentunya hanya wajib di jalan yang benar sesuai syarat. Hanya melalui ikatan pernikahanlah cinta bisa halal diekspresikan melalui ”aktivitas” menncitai dengan kekasih kita.
            Seiring dengan hari yang semakin senja, topik pembicaraan pun beralih ke perkawinan beda agama. Dalam kesempatan itu Romo Venus banyak sekali memberikan pandangan seputar perkawinan beda agama yang akhir-akhir ini banyak kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Romo Venus menegaskan bahwa sebelum pasangan melangkah ke jenjang perkawinan, ada baiknya mereka memilih salah satu agama yang dianut pasangan tersebut, entah itu Katolik, Prostestan, Islam maupun agama lainnya. Satu diantara pasangan beda agama tersebut sekiranya mengalah dan bersedia menjadi bagian dari agama yang nantinya dipilih. Tujuannya adalah mulia demi kebersamaan dan masa depan keluarga dan anak-anak nantinya.
            Berkenaan dengan topik di atas (beda agama dan beda suku), mbak Nita didaulat langsung oleh peserta untuk menceritakan pengalaman perkawinannya. Banyak hal yang dapat diambil hikmahnya dari cerita yang disampaikan oleh mbak Nita, diantaranya dari awal yang so far so good tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang menyita banyak pikiran dan mendulang banyak sekali tekanan, terutama dari pihak keluarga, tidak adanya sikap mengalah dari kedua belah pihak menyulut situasi serta hubungan antara anak dan mertua menjadi semakin tegang. Akhirnya mbak Nita memilih mengalah demi cinta dan keluarga, dan mengikuti keyakinan yang dianut suaminya kala itu. Namun keputusan yang diambil tersebut tidak juga merubah tatanan kehidupan rohani, mbak Nita merasakan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan spiritualnya. Singkat cerita akhirnya pasangan ini pun memilih bersatu dengan ikatan Gereja Katolik, hal ini didasarkan adanya keinginan untuk saling berbagi hidup, saling mengisi, memberi dan menerima dalam naungan roh Allah. Keinginan untuk berbagi hidup dalam ikatan Gereja Katolik tentu saja mendapat hambatan luar biasa dari keluarga sang suami, tetapi pasangan ini bisa membuktikan bahwa keputusan yang diambil tersebut adalah berasal dari serta dipengaruhi dan dipimpin oleh Roh Allah, panggilan dari Roh Allah untuk ikut serta dalam karya Allah guna menyebarkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan-Nya di dalam kehidupan berkeluarga. Perjuangan yang tak kenal menyerah ini membuahkan hasil, keluarga ini akhirnya menemukan CINTA yang adalah anugerah dari Tuhan dan bahwa CINTA itu hadir dalam kehidupan keluarga mereka.
            Sebagai kesimpulan dari acara temu keakraban tersebut, Romo Venus menjelaskan bagaimana perkawinan beda agama tersebut bila dilihat dari prepektif Gereja Katolik. Dua Jenis Perkawinan Campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin khusus dari Uskup. Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan juga dispensasi dari Uskup. Diharapkan dengan diberikannya ijin atau dispensasi,  pihak Katolik dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan beriman menurut ajaran Katolik kepada pasangannya.
            Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya, personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
            Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.
            Pada akhir acara, untuk lebih merekatkan tali keakraban antara peserta, panitia menggelar games. Antara lain lomba makan kerupuk, lomba balon berpasangan serta bernyanyi bersama, sebelum akhirnya ditutup dengan doa bersama.
                                                                        (Hans Guslamen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar