Translate

Selasa, 30 April 2013

Minta Maaf aku Pakai Sandal saja

(Remah-remah
dari Pertapaan)
Bukan hal yang asing dan apalagi aneh kalau Sang Imam memimpin Misa di pedalaman dengan memakai sandal saat memimpin Misa karena tuntutan medan yang memaksa untuk itu. Hari ini di depan umat saat "woro-woro" sebelum berkat penutup aku meminta maaf kepada umat, "Minta maaf kepada Anda sekalian karena aku pakai sandal saja" dan disambut tawa oleh umat karena tahu persis bahwa jalan dari Pastoran ke stasi tersebut lagi sedang dipenuhi lumpur, bukan saja karena longsor di beberapa titik jalan tetapi kondisi jalan secara umum memaksa siapapun untuk tidak memakai sepatu. 

Pengalaman hari ini bukanlah pengalaman pertama dan pasti bukan pengalaman terakhir, juga saya pikir pukan saja merupakan pengalamanku pribadi tetapi juga dialami oleh rekan imam yang lain di pedalaman-pedalaman yang lain. Pengalaman Misa tanpa sepati masih belum sangat aneh, karena kadang-kadang terjadi pengalaman aneh dan lebih konyol dari itu. Misalnya saja pengalaman Misa dengan jubah basah karena tibaitiba hujan di jalan dan tidak sempat bawah mantel. Pengalaman pulang dari kampung seberang dengan oleh-oleh daging babi yang diikat di belakang motor, tetapi karena jalanan jelek maka tidak jarang tiba di pastoran hanya mendapati karet pengikatnya saja yang bergantung karena oleh-oleh terjatuh dalam perjalanan, dan banyak kisah konol yang lain sebagai warna dan seni melayani di pedalaman. Namun dari kisah sederhana ini aku ingin menarik sebuah permenungan.

Dulu ketika masih dalam formatio di seminari, entah berapa kali aku kena denda gara-gara pakai sepatu olahraga ke gereja atau ikut Misa dengan baju kaos oblong. Tetapi di pedalaman kadang-kadang hal yang ideal itu terpaksa dilanggar karena alasan medan. Aku tidak tahu seandainya staff seminari mengikutiku ke pedalaman entah sudah berapa kali aku dapat hukuman. Akupun tahu bahwa didikan dan pembinaan mereka itu semata untuk menjadikan kami menjadi manusia yang tahu menempatkan diri dalam situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Kini dsituasi pedalaman menuntut penampilan yang kadang-kadang jauh dari ideal; tanpa sepatu, celana jeans, rambut gondrong, dll. Tetapi satu yang tetap kuingat yakni bagaimana semangat dan penghayatan pelayanan hendaknya menjadi yang primer atau utama. Tidak jarang dengan penampilan necis dan parlente membuat umat yang sangat sederhana merasa sungkan dan sedikit malu-malu, karenanya kadang-kadang penampilan ala kampung terasa lebih nyaman ketimbang penampilan yang ideal. Dan kadang-kadang medan memaksa untuk tampil seperti itu kendati sesungguhnya dan seharusnya bisa tampil lebih keren karena perayaan yang agung yang akan dan atau sedang dirayakan.

Menjadi imam di kampung kadang-kadang harus sungguh lepas dari idealisme ketika masih di seminari. Pulang tengah malam mendapati rumah gelap-gulita karena jauh dari tetangga dengan harapan setiba di rumah bisa siram indomie, tetapi kadang-kadang prediksi meleset, tiba dan gas kompor pas kosong. Terpaksa harus puasa malam itu dan berharap supaya cepat-cepat datang hari yang baru. Sekali lagi kadang-kadang apa yang ideal tidak serta-merta bisa diusahakan ketika berhadapan dengan medan yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan ketika masih dalam formatio. Intinya bagaimana menyesuikan diri dan bagaimana menjalaninya dengan penuh kegembiraan, dengan prinsif "Enjoy adja kaliq,...".

Kawasan Longsor Bokin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar